Â
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia Capres-Cawapres yang dinilai sarat kepentingan terus menuai kontroversi dan kekecewaan publik. Hari ini, sebagaimana dilansir di sejumlah media nasional, Ketua MK Anwar Usman bakal dilaporkan ke Majelis Kehormatana MK dengan dugaan pelanggaran kode etik sebagai Hakim MK.
Bahkan Koordinator Persatuan Advokat Nusantara, Petrus Selestinus, menilai Ketua MK diduga melakukan pelanggaran kode etik sekaligus pidana (Jawa Pos, 18 Oktober 2023). Menurut Petrus, setidaknya terdapat tiga dugaan pelanggaran yang dilakukan Anwar Usman dalam posisi sebagai Ketua dan Anggota Hakim MK. Yakni conflict of interest, nepotisme, dan manipulasi putusan.
Menyitir Pasal 17 Ayat 5 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Petrus menjelaskan bahwa seorang hakim wajib mengundurkan diri bila berkepentingan langsung dan tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa. Dalam ayat selanjutnya, jika ada pelanggaran tersebut, putusan dianggap tidak sah dan hakim dikenai sanksi administratif atau dipidana sesuai perundang-undangan.
Manipulasi PutusanÂ
Selain itu, Petrus juga menilai ada manipulasi dalam putusan MK itu. Sebab, terdapat tiga kubu hakim. Empat hakim menolak, dua hakim memaknai berpengalaman sebagai gubernur serta menyatakan perubahan batas usia wewenang DPR, dan tiga hakim setuju.
Namun, Anwar Usman justru memasukkan dua hakim menjadi setuju. Sehingga, Ketua MK diduga melakukan pelanggaran masif dan terstruktur. Karena itu, pihaknya akan melaporkan Ketua MK ke Dewan Kehormatan MK dan Bareskrim untuk pidananya.
Terkait dugaan manipulasi putusan tersebut, Ahmad Basarah, Dosen FH Universitas Islam Malang yang juga Wakil Ketua MPR RI juga menilai terdapat persoalan mendasar dalam amar putusan MK yang membolehkan warga negara belum berusia 40 tahun dapat mencalonkan diri sebagai Capres-Cawapres asalkan pernah/sedang menduduki jabatan  kepala daerah yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk Pilkada (Detik.Com, 16 Oktober 2023).
Dimana letak persoalan mendasarnya? Basarah menyimpulkan bahwa sebenarnya putusan MK ini tidak mengabulkan petitum pemohon, melainkan menolak permohonan pemohon. Karena dari 9 hakim konstitusi, 4 hakim diantaranya memilih dissenting opinion (pendapat berbeda) dan 2 hakim menyatakan concurring opinion (alasan berbeda).
Keempat hakim dissenting opinion adalah Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat dan Suhartoyo, yang kesemuanya dengan tegas menolak permohonan pemohon. Sedangkan dua hakim lainnya yaitu Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh  menyatakan concurring opinion.Â