Menjelang pembacaan putusan sidang judicial review mengenai batas usia Capres-Cawapres senin mendatang, tetiba saja saya teringat sinetron lama TVRI berjudul "Mahkamah, Sebuah Pengadilan Hati Nurani". Sinetron ini karya Asrul Sani (bukan Arsul Sani, yang belum lama ditetapkan menjadi Yang Mulia Hakim MK loh yah), salah seorang sineas terbaik yang pernah dimiliki bangsa ini. Seingat saya, sinetron keren ini tayang di TVRI dua kali di tahun 1984 atau 1985 silam.
"Mahkamah" menceritakan karakter Saiful Bahri, seorang veteran perang yang gelisah menghadapi ajal yang akan segera menjemput. Kegelisahan Bahri dipicu oleh pengalaman dilematiknya kala ia menjadi Hakim untuk sahabatnya, Kapten Anwar yang dianggap desersi dari tugas. Bahri memvonis Anwar dengan hukuman tembak mati.
Mahkamah, The Guardian of Constitution
Senin 16 Oktober mendatang Mahkamah Konstitusi (MK) akan membacakan putusan atas permohonan sejumlah pihak mengenai batas minimal umur Capres dan Cawapres. Banyak orang berharap putusan Mahkamah mencerminkan posisi kelembagaannya sebagai the guardian of constitution, penjaga dan pelindung konstitusi, bukan yang lain.
Sebelum menulis lebih panjang, perlu segera dikemukakan. Pertama, tulisan ini  tidak dimaksudkan sebagai bentuk apriori dengan aspirasi usia Capres-Cawapres diturunkan, bahkan ke angka 21 tahun sekalipun. Kedua tulisan ini juga tidak memiliki afiliasi dengan siapa bakal Capres didampingi bakal Cawapres siapa. Ketiga, tulisan ini tidak akan membahas aspek-aspek legal dan teknis soal materi judicial review. Keempat, tulisan ini sekadar analis-analisan, merangkai patahan-patahan puzzle kepentingan dan serpihan-serpihan isu elektoral di balik "nafsu" menurunkan batas minimal usia Capres-Cawapres.
Sebagaimana yang dapat dibaca dari banyak isyarat dan fakta-fakta sosiopolitik yang berkembang di seputar munculnya permohonan judicial review ini, perkara batas minimal usia Capres-Cawapres ini diduga kuat berkenaan dengan kepentingan kandidasi sosok anak muda. Ia baru 36 tahun, belum tuntas menjalankan tugasnya sebagai Walikota, tetapi ia anak presiden.
Publik khawatir putusan Mahkamah nanti lebih menunjukkan pembelaannya pada kepentingan politik sesaat sekaligus kepentingan aktor-aktor politik yang sedang memainkan jurus-jurus akrobatik untuk melanggengkan kekuasaan melaui jalur cepat politik dinasti dan/atau memuluskan jalan menuju istana di 2024.
Jika putusan serupa itu yang diambil, MK nampaknya bakal kehilangan marwah dan wibawa. MK bukan lagi penjaga dan pelindung konstitusi. Ia hanya merupakan penjaga dan pelindung kepentingan dan ambisi pribadi-pribadi. Â
Lantas, siapa yang berkepentingan membuka jalan bagi anak muda tadi untuk bisa menjadi Cawapres? Ohya lupa belum disebut. Anak muda itu adalah Gibran Rakabuming. Figur yang kabarnya amat santun, dan sebelumnya tidak menunjukan tanda-tanda sebagai seorang yang ambisius secara politik.
Dan siapa pula yang ambisius melanggengkan kekuasaan di satu sisi untuk diri dan keluarganya, sekaligus memuluskan jalan menuju istana di sisi lain untuk orang lain dan gerbongnya?
Â
"Kerjasama Politik" Prabowo-JokowiÂ
Sekali lagi, siapa yang berkepentingan membuka jalan bagi anak muda tadi untuk bisa menjadi Cawapres? Dari tanda-tanda yang bisa dibaca dan dari indikasi-indikasi yang dapat dicermati, ia adalah Prabowo. Publik yang literate secara politik tahu belaka soal ini.
Prabowo berkepentingan dengan sosok Gibran. Dari pergerakan dan pernyataan-pernyataannya sejauh ini ia menginginkan Gibran menjadi pendampingnya pada kontestasi Pilpres 2024 karena satu alasan yang masuk rasional. Bahwa Gibran adalah simpul dimana suara-suara pendukung fanatik Jokowi diperkirakan bakal terkonsolidasi.
Dengan memilih Gibran sebagai pendampingnya, Prabowo nampaknya yakin bakal meraih insentif besar elektoral. Itu sebabnya mengapa hingga hari ini Prabowo-KIM belum memutuskan siapa bakal Cawapres dari poros koalisinya. Meski stok yang tersedia untuk menjadi bakal Cawapres di koalisinya lebih dari cukup.
Kepastian siapa yang bakal menjadi pendampingnya clear sudah: menunggu putusan MK yang diduga bakal mengabulkan gugatan judicial review para pemohon yang, sebagian di antaranya adalah juga kader-kader Gerindra.
Dan sekali lagi, siapa pula yang ambisius melanggengkan kekuasaan untuk diri dan keluarganya? Meski saya sendiri berusaha keras untuk tidak percaya, dugaan spekulatif ini jelas mengarah pada Jokowi berdasarkan serangkaian indikasi yang dapat dicermati sepanjang tahun politik dan menjelang perhelatan Pemilu yang makin dekat.
Mulai dari wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan Presiden-Wapres di fase-fase awal tahapan Pemilu akan dimulai dulu. Kemudian isu cawe-cawe yang diakuinya sendiri meski diklaim punya alasan untuk kebaikan keberlanjutan program pemerintah. Hingga ke sulitnya Prabowo dan poros koalisinya menentukan bakal Cawapres, dan terakhir lompatan kilat Kaesang menjadi Ketua Umum PSI.Â
Analisis dan simpulan-simpulan spekulatif bahwa Jokowi sedang berusaha melanggengkan kekuasaan, atau setidaknya pengaruh determinan atas kekuasaan pasca dirinya pensiun nanti, tidak hanya menjadi perbincangan para pengamat dan analis lokal. Tetapi juga menjadi perhatian banyak media asing.
Sekedar menyebut beberapa contoh, dalam artikel berjudul "Son of Indonesian President Takes Helm of Youth-Oriented Political Party" misalnya. Situs berita The Diplomat menulis kemunculan Kaesang sebagai Ketua PSI mencerminkan pola dinasti politik yang sudah lama menggejala dalam kepolitikan Indonesia mutakhir.
Kemudian Reuters, media terbesar berbasis di Inggris, menulis di bawah judul artikel "Indonesian president's son named youth party chair", bahwa pengangkatan Kaesang menjadi Ketua PSI merupakan manuver politik Jokowi yang berupaya memastikan warisan pengaruh politiknya yang berkelanjutan melalui anak-anaknya. Secara politik fakta ini telah menimbulkan keheranan di negara yang baru 25 tahun lalu melepaskan diri dari pemerintahan otoriter.
Sementara Time, majalah mingguan berbasis di Amerika Serikat melihat fenomena naiknya Kaesang menjadi Ketum PSI dan maneuver-manuver Jokowi sejauh ini mencerminkan tren penurunan demokrasi yang lebih luas di Indonesia (it reflects an exacerbation of a broader trend of democratic decline in Indonesia).
Beberapa pandangan dan analis tersebut mungkin saja subyektif, overthinking, terlampau paranoid, dan tidak sepenuhnya menggambarkan fakta-fakta yang sebenarnya. Tetapi isyarat dan indikasi-indikasi yang dapat dibaca dan dicermati memang sukar dipungkiri. Bahwa Jokowi nampaknya memang sedang berusaha melanggengkan pengaruh politiknya. Dan upaya ini dilakukan dengan cara membangun "kerjasama politik" yang saling menguntungkan bersama Prabowo.
Prabowo sedang berupaya memuluskan jalan menuju istana di 2024 melalui Gibran. Sedangkan Jokowi berusaha melanggengkan pengaruh kekuasaan yang sekaligus potensial akan menjadi fondasi awal bangunan dinasti politik dari strategi Prabowo.
Dan kunci terakhir (sebelum pendaftaran Capres-Cawapres dimjulai 19 Oktober nanti) yang bakal sangat menentukan sukses-tidaknya "kerjasama politik" itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi Senin menatang. Jika dugaan ini sahih, demokrasi Indonesia nampaknya memang sedang dan bakal mengalami penurunan kualitas.
Semoga saja Yang Mulia para Hakim MK, melalui putusannya sanggup menghadirkan "peradilan hati nurani" seperti pesan Bahri dalam sinetron "Mahkamah". Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H