Sementara Time, majalah mingguan berbasis di Amerika Serikat melihat fenomena naiknya Kaesang menjadi Ketum PSI dan maneuver-manuver Jokowi sejauh ini mencerminkan tren penurunan demokrasi yang lebih luas di Indonesia (it reflects an exacerbation of a broader trend of democratic decline in Indonesia).
Beberapa pandangan dan analis tersebut mungkin saja subyektif, overthinking, terlampau paranoid, dan tidak sepenuhnya menggambarkan fakta-fakta yang sebenarnya. Tetapi isyarat dan indikasi-indikasi yang dapat dibaca dan dicermati memang sukar dipungkiri. Bahwa Jokowi nampaknya memang sedang berusaha melanggengkan pengaruh politiknya. Dan upaya ini dilakukan dengan cara membangun "kerjasama politik" yang saling menguntungkan bersama Prabowo.
Prabowo sedang berupaya memuluskan jalan menuju istana di 2024 melalui Gibran. Sedangkan Jokowi berusaha melanggengkan pengaruh kekuasaan yang sekaligus potensial akan menjadi fondasi awal bangunan dinasti politik dari strategi Prabowo.
Dan kunci terakhir (sebelum pendaftaran Capres-Cawapres dimjulai 19 Oktober nanti) yang bakal sangat menentukan sukses-tidaknya "kerjasama politik" itu adalah putusan Mahkamah Konstitusi Senin menatang. Jika dugaan ini sahih, demokrasi Indonesia nampaknya memang sedang dan bakal mengalami penurunan kualitas.
Semoga saja Yang Mulia para Hakim MK, melalui putusannya sanggup menghadirkan "peradilan hati nurani" seperti pesan Bahri dalam sinetron "Mahkamah". Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H