Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mencegah Golput Otentik Muncul Kembali

11 Oktober 2023   18:45 Diperbarui: 11 Oktober 2023   18:47 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jumlah itu turun drastis dibanding Pemilu 1955 yang diikuti oleh 172 partai politik. Sebelum Pemilu 1971 digelar beberapa partai politik dibubarkan oleh Orde Baru. Diantaranya adalah partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) dan Partai Sosialis Indonesia (PSI), selain PKI yang mendalangi G 30 S tahun 1965.

Berbagai sumber literatur menjelaskan, kala itu Golput adalah sebuah gerakan yang intisarinya mengajak masyarakat untuk datang ke TPS namun kemudian menusuk kertas putih di sekitar tanda gambar, bukan gambarnya. Cara ini tentu akan mengakibatkan suaranya jadi tidak sah, dan tak dihitung.

Jadi, para pemilih tetap dihimbau datang ke TPS, dan ini artinya mereka berpartisipasi. Hanya saja, di TPS mereka diminta untuk mencoblos area berwarna putih di sekitar tanda gambar peserta Pemilu. Mereka mendeklarasikan gerakan ini pada awal Juni 1971, sebulan sebelum pemilu pertama Orba digelar bulan Juli 1971.

Dari penelusuran ringkas di atas, sedikitnya ada tiga item yang bisa disimpulkan. Pertama, Golput yang otentik (sebut saja demikian) merupakan pilihan sadar yang diambil para pemilih karena pertimbangan "ideologis" tertentu. Dalam hal ini maksudnya adalah "kekecewaan politik" terhadap pemerintah Orba.

Kedua, secara teoritik Golput otentik tetap merupakan partisipasi, karena para pemilih tetap datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Hanya saja cara penggunaan hak pilihnya dilakukan dengan sengaja secara keliru dan dipastikan suaranya menjadi tidak sah.

Ketiga, Golput otentik yang demikian jelas memiliki tujuan yang bersifat politik, yakni mendown-grade legitimasi hasil Pemilu dengan cara membuat sebanyak mungkin suara-suara pemilih tidak sah menurut peraturan perundangan.   

Upaya pencegahan 

Berdasarkan ulasan diatas jelas Golput otentik berbeda dengan pemahaman yang bersifat plastis dan lentur saat ini dimana Golput dimaknai dengan cara pukul rata. Asal pemilih tidak datang ke TPS maka mereka dikategorikan Golput. Meski alasannya mungkin saja sekedar malas, terkendala masalah teknis, atau a-politis (tidak melek politik, tidak peduli pemilu dan sejenisnya).

Secara politik Golput otentik potensial lebih berbahaya dibanding Golput teknik (sebut saja demikian sekedar untuk memudahkan identifikasi), paling tidak karena dua alasan berikut.

Pertama, Golput otentik dilatarbelakangi oleh kekecewaan politik terhadap pemerintah. Jika dulu kekecewaan itu dipicu oleh kebijakan terkait penyelenggaraan pemilunya sendiri, saat ini bentuk kekecewaan politik bisa saja dipicu oleh berbagai kebijakan pemerintah. Sebut saja misalnya berkenaan dengan kebijakan-kebijakan pembangunan yang kerap memicu konflik agraria di berbagai daerah, kasus-kasus korupsi para pejabat yang terus saja terjadi dan lain-lain.

Atau, bisa juga karena dipicu oleh aspek-aspek tertentu dari perhelatan Pemilu sendiri yang membuat rakyat jengkel dan menilai Pemilu hanyalah sekedar alat mekanis untuk saling bertukar posisi di antara elit belaka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun