Memahami terma "Politik Uang" dalam konteks Pemilu hanya dengan memfokuskan diri pada transaksi pemberian uang atau materi lainnya oleh para kandidat (Pileg, Pilpres maupun Pilkada) terhadap pemilih adalah cara simplistik yang tidak menggambarkan fakta-fakta fenomenologis yang sebenarnya.
Cara yang demikian juga mereduksi seolah-olah politik uang hanya penyakit elektoral orang-orang miskin, para pemilih yang secara ekonomi terdesak kebutuhan sesaat. Kemudian dengan gampang bersedia menjual kedaulatannya dengan harga goceng, ceban atau puluhan ribu perak.
Dengan nalar reduksionisme yang sama, politik uang juga kerap difahami sebagai transaksi yang berlangsung dalam ruang lingkup waktu yang terbatas. Misalnya saat kampanye atau menjelang pencoblosan.
Pemaknaan yang demikian memang tidak salah karena di dalam UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu pengaturan politik uang antara lain memang seperti itu.
Tetapi jika pendekatan yang digunakan untuk memahami politik uang adalah esensi yang berada di balik otak para pihak pemberi maka pemahaman di atas jelas keliru. Setidaknya, sekali lagi, tidak menggambarkan fenomena faktual yang sesungguhnya berlangsung. Juga keliru jika dilihat dari hakikat fenomena perilaku politik uang baik dari sisi pemberi maupun penerima.
Politik uang adalah transaksi yang melibatkan pemberi, perantara dan penerima. Obyek nyang diberikan bisa uang bisa juga materi lain yang nilaya setara dengan, atau lebih bernilai dari uang.
Esensi dan hakikat politik uang adalah upaya yang dimaksudkan untuk  memengaruhi pilihan sikap politik pihak penerima, yang tidak terbatas hanya pada saat menjelang pemungutan suara. Tetapi juga bisa terjadi jauh sebelum tahapan Pemilu dimulai. Dan oleh sebab itu, maka pihak penerima tidak terbatas hanya pada para pemilih. Melainkan juga pihak-pihak lain yang terlibat langsung atau tidak langsung dalam perhelatan Pemilu.
Transaksi Multiarah
Berbasis pemahaman itulah maka gejala politik uang sejatinya bisa terjadi dan berlangsung secara multiarah. Praktiknya politik uang bisa melibatkan pihak-pihak lain selain peserta yang berkepentingan dan pemilih yang memiliki suara. Misalnya penyelenggara Pemilu, baik KPU maupun Bawaslu beserta jajarannya ke bawah.
Transaksi politik uang bisa melibatkan penyelenggara ketika peserta atau calon peserta Pemilu membutuhkan suatu kebijakan tertentu dari penyelenggara yang menguntungkan dirinya atau kelompoknya. Sebut saja misalnya terkait dokumen persyaratan pencalonan yang secara legal tidak memenuhi syarat normatif, kegiatan kampanye yang melanggar aturan (waktu, lokasi, metode dll), atau manipulasi terhadap sertifikat hasil penghitungan suara.
Kesemua contoh itu dan ruang-ruang perhelatan elektoral lainnya, potensial bisa menjadi pintu masuk atau area dimana praktik politik uang terjadi dan melibatkan penyelenggara. Kasus sejenis ini juga bisa terjadi pada ranah yang melibatkan aparatur pemerintah, termasuk aparat keamanan. Intinya berkaitan dengan satu hal, yakni memengaruhi kebijakan pemegang otoritas sebagai sasaran para pihak pemberi uang agar kebijakannya memberikan keuntungan elektoral.
Modus lain Politik Uang
Masih dengan pemahaman yang sama, bahwa esensi dan hakikat politik uang adalah upaya untuk  memengaruhi pilihan sikap politik pihak penerima, fenomena politik uang juga bisa terjadi dalam dimensi praksis sekaligus modus yang berbeda dengan apa yang diatur dalam UU Pemilu.Â
Modus yang dimaksud adalah, bahwa transaksi politik uang yang berlangsung  menempatkan para kandidat (Pileg, Pilpres maupun Pilkada) dalam posisi sebagai penerima. Pihak pemberinya ialah para bandar, para donatur, pemodal-pemodal kuat yang memberikan sumbangan dana kampanye atau political cost untuk membantu pemenangan para kandidat.
Dalam konteks ini tentu saja yang dimaksud pilihan sikap politik adalah pilihan sikap politik para kandidat manakala mereka terpilih dan dilantik di kemudian hari. Bentuk praktisnya adalah kebijakan-kebijakan politik negara/daerah yang didesain dan diproyeksikan untuk memberikan keuntungan-keuntungan ekonomi-politik kepada para bandar atau pemodal.
Para ahli menyebut kasus-kasus serupa ini sebagai bentuk korupsi politik, abuse of power yang dilakukan oleh para pejabat terpilih, yang biasanya dipicu antara lain oleh praktik-praktik korupsi elektoral berupa transaksi-transaksi politik uang sebelum atau pada saat kontestasi Pemilu berlangsung sebagaimana diuraikan di atas.
Merujuk pada  Money in Politic's Handbook: A Guide to Increasing Transparency in Emerging Democracies, sedikitnya terdapat 5 (lima) modus fenomena korupsi politik yang dipicu oleh korupsi elektoral sebagai berikut.
Pertama, adanya tendensi dari partai penguasa untuk memanfaatkan keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) guna mendanai kampanye dan operasi politik yang lain.
Kedua, akses terhadap pemerintahan cenderung dimonopoli oleh penyumbang sehingga publik tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam tender proyek- proyek pemerintah.
Ketiga, perusahaan besar atau pebisnis sebagai penyumbang tunggal atau dominan terhadap kandidat dan partai politik memiliki pengaruh determinan terhadap, bahkan mendominasi proses pengambilan keputusan politik.
Keempat, adanya kecenderungan terjadinya pembusukan dan korupsi politik dalam pemerintahan. Dan terakhir, kelima terjadi korupsi politik yang disebabkan oleh kuatnya hubungan patronase antara lembaga donor dengan kandidat terpilih. Konsekuensinya kandidat terpilih akan sangat mudah diintervensi kebijakan politiknya oleh donatur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H