Kesemua contoh itu dan ruang-ruang perhelatan elektoral lainnya, potensial bisa menjadi pintu masuk atau area dimana praktik politik uang terjadi dan melibatkan penyelenggara. Kasus sejenis ini juga bisa terjadi pada ranah yang melibatkan aparatur pemerintah, termasuk aparat keamanan. Intinya berkaitan dengan satu hal, yakni memengaruhi kebijakan pemegang otoritas sebagai sasaran para pihak pemberi uang agar kebijakannya memberikan keuntungan elektoral.
Modus lain Politik Uang
Masih dengan pemahaman yang sama, bahwa esensi dan hakikat politik uang adalah upaya untuk  memengaruhi pilihan sikap politik pihak penerima, fenomena politik uang juga bisa terjadi dalam dimensi praksis sekaligus modus yang berbeda dengan apa yang diatur dalam UU Pemilu.Â
Modus yang dimaksud adalah, bahwa transaksi politik uang yang berlangsung  menempatkan para kandidat (Pileg, Pilpres maupun Pilkada) dalam posisi sebagai penerima. Pihak pemberinya ialah para bandar, para donatur, pemodal-pemodal kuat yang memberikan sumbangan dana kampanye atau political cost untuk membantu pemenangan para kandidat.
Dalam konteks ini tentu saja yang dimaksud pilihan sikap politik adalah pilihan sikap politik para kandidat manakala mereka terpilih dan dilantik di kemudian hari. Bentuk praktisnya adalah kebijakan-kebijakan politik negara/daerah yang didesain dan diproyeksikan untuk memberikan keuntungan-keuntungan ekonomi-politik kepada para bandar atau pemodal.
Para ahli menyebut kasus-kasus serupa ini sebagai bentuk korupsi politik, abuse of power yang dilakukan oleh para pejabat terpilih, yang biasanya dipicu antara lain oleh praktik-praktik korupsi elektoral berupa transaksi-transaksi politik uang sebelum atau pada saat kontestasi Pemilu berlangsung sebagaimana diuraikan di atas.
Merujuk pada  Money in Politic's Handbook: A Guide to Increasing Transparency in Emerging Democracies, sedikitnya terdapat 5 (lima) modus fenomena korupsi politik yang dipicu oleh korupsi elektoral sebagai berikut.
Pertama, adanya tendensi dari partai penguasa untuk memanfaatkan keuangan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) guna mendanai kampanye dan operasi politik yang lain.
Kedua, akses terhadap pemerintahan cenderung dimonopoli oleh penyumbang sehingga publik tidak mempunyai kesempatan yang sama untuk ikut serta dalam tender proyek- proyek pemerintah.
Ketiga, perusahaan besar atau pebisnis sebagai penyumbang tunggal atau dominan terhadap kandidat dan partai politik memiliki pengaruh determinan terhadap, bahkan mendominasi proses pengambilan keputusan politik.
Keempat, adanya kecenderungan terjadinya pembusukan dan korupsi politik dalam pemerintahan. Dan terakhir, kelima terjadi korupsi politik yang disebabkan oleh kuatnya hubungan patronase antara lembaga donor dengan kandidat terpilih. Konsekuensinya kandidat terpilih akan sangat mudah diintervensi kebijakan politiknya oleh donatur.