Diskursus demokrasi elektoral sepakat bahwa perhelatan Pemilu sejatinya tidak sekadar ritual periodik demokrasi lima tahunan. Pemilu haruslah memberikan makna yang berarti, baik bagi rakyat sendiri, para elit politik maupun bagi bangsa dan negara.Â
Bagi rakyat, sebagaimana dinyatakan dengan tegas dalam peraturan perundangan, Pemilu harus benar-benar menjadi sarana pelaksanaan kedaulatan sekaligus sebagai bentuk pengejewantahan kuasa rakyat dalam memilih dan menentukan secara otonom siapa yang pantas dan layak diberikan mandat untuk memimpin negara bangsa.
Bagi para elit politik yang merasa memiliki talenta kepemimpinan, kelayakan dan kepantasan untuk mendapat kepercayaan dan mandat dari rakyat, Pemilu harus menjadi arena kontestasi yang fair, jujur dan adil. Arena kontestasi kecakapan dan festival gagasan yang mengedepankan keunggulan-keunggulan komparatif sekaligus kompetitif.
Bagi bangsa dan negara Pemilu harus menjadi sarana penguatan integrasi nasional sekaligus instrumen mekanis bagaimana capaian-capaian kemajuan pembangunan yang telah diperoleh dapat dirawat dan terus dikembangkan dari waktu ke waktu secara terukur dan programatik.
Semua bentuk kebermaknaan pemilu berupa harapan-harapan ideal yang demikian itu hanya bisa diantarkan dan diwujudkan jika pemilu diselenggarakan dengan penuh integritas. Untuk mewujudkan Pemilu berintegritas diperlukan dukungan kesatuan yang utuh dari sejumlah kriterium elektoral.
Merujuk pandangan Prof. Muhammad (mantan Ketua DKPP RI), ada lima kriteria Pemilu berintegritas. Yakni regulasi yang jelas, peserta yang kompeten, birokrasi yang netral, penyelenggara yang kompeten dan berintegritas, serta pemilih yang cerdas. Tulisan ini akan mengulas lebih jauh salah satu dari kriteria tersebut, yakni pemilih cerdas.
Conditio sine qua non
Ada satu tesis sederhana di kalangan ahli dan pegiat Pemilu. Bahwa pemimpin yang baik hanya akan lahir dari pilihan para pemilih yang baik. Maka  jangan berharap bangsa ini bisa mendapatkan para pemimpin yang baik meski Pemilu sudah dilakukan berulang kali jika para pemilihnya sendiri masih betah berada di level illiterate sebagai pemilih, tak melek dan tak cerdas sebagai pemilih.
Pemilih cerdas memang merupakan conditio sine qua non, syarat wajib untuk mewujudkan perhelatan elektoral benar-benar menjadi media melalui cara apa para pemimpin yang baik dan ideal dilahirkan. Lantas bagaimana seorang pemilih dapat dikategorikan sebagai pemilih cerdas? Â