Ketika istilah demokrasi, sebagaimana dipahami dari makna etimologisnya, yakni kedaulatan rakyat, maka nilai praksis paling penting dari pemaknaan ini adalah partisipasi atau keterlibatan rakyat.Â
Partisipasi adalah bentuk artikulasi sekaligus pengejewantahan paling kongkrit dari makna demokrasi. Karena dengan cara partisipasi rakyat bukan hanya terlibat, melainkan juga menentukan.
Bertolak dari premis inilah mengapa kemudian partisipasi pemilih menjadi penting dalam kerangka perhelatan demokrasi elektoral atau Pemilu.Â
Partisipasi pemilih artinya keterlibatan secara efektif para pemilih dalam pelaksanaan Pemilu. Wujud kongkretnya adalah memberikan suara atau menggunakan hak pilih dengan benar di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada hari pemungutan suara.
Simulasi angka-angka
Lantas mengapa partisipasi pemilih penting dalam suatu kontestasi elektoral? Karena partisipasi pemilih berhubungan dengan sisi legitimasi politik.Â
Dalam sudut pandang moralitas demokrasi elektoral sekaligus etika politik, rendahnya angka partisipasi pemilih dianggap mencerminkan rendahnya legitimasi (keabsahan) politik para pemimpin yang terpilih.Â
Secara kuantitatif (kalkulasi perbandingan antara jumlah penduduk, jumlah pemilih dan tingkat partisipasi pemilih) soal legitimasi politik dilihat dari sudut pandang tingkat partisipasi pemilih ini bisa disimulasikan sebagai berikut.
Mislanya pada Pemilu 2024 ini jumlah penduduk Indonesia di kisaran angka 270 jutaan lebih. Dari total jumlah penduduk ini, rakyat yang telah memenuhi syarat sebagai pemilih dan masuk dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) sebanyak 204 jutaan. Angka-angka ini bersifat global saja, sekedar untuk memudahkan penggambaran.
Kita ambil contoh kasus untuk Pilpres 2024 dengan 3 pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang berkompetisi. Usai penghitungan suara total nasional diperoleh angka partisipasi pemilih sebesar 80% (asumsi optimistik, angka rata-rata yang diperoleh pada Pemilu 2019). Ini artinya dari 204 juta pemilih tadi hanya 163 jutaan pemilih yang datang ke TPS memberikan suaranya. Sisanya sebanyak 40 jutaan pemilih tidak menggunakan hak pilihnya karena berbagai alasan. Ini yang lazim disebut sebagai Golput.
Jumlah total angka partisipasi pemilih sebesar 163 jutaan itu tentu saja tidak diraih oleh satu pasangan kandidat. Jika, taruhlah Pilpres terjadi dua putaran dan pemenangnya memperoleh angka 60% (lagi-lagi merujuk pada capaian prosentase Pemilu 2019 untuk sekedar memudahkan perbandingan), maka pasangan kandidat terpilih itu sesungguhnya hanya dipilih oleh 97 jutaan pemilih.
Angka 97 jutaan itu jauh dibandingkan dengan jumlah pemilih dalam DPT sebanyak 204 jutaan. Jika diprosentase hanya sebesar 40%. Lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan jumlah total penduduk (rakyat) yang 270 jutaan. Hanya sekitar 35%.
Jadi, dengan asumsi angka-angka optimistik saja (80% tingkat partisipasi pemilih tadi), jumlah dukungan ril yang diraih pasangan Capres-Cawapres terpilih sesungguhnya sangat rendah.Â
Bisa dibayangkan, bisa dikalkulasi sendiri bagaimana jika tingkat partisipasi hanya mencapai angka 70% atau lebih rendah lagi. Betapa makin sedikitnya sesungguhnya rakyat yang secara ril memberikan dukungan pada paslon terpilih.
Partisipasi dan legitimasi
Tentu saja, derajat legitimasi politik pasangan Capres-Cawapres terpilih tidak melulu hanya diukur berdasarkan pendekatan kuantitatif sebagaimana disimulasikan di atas. Pendekatan normatif dan pendekatan kualitatif juga bisa menjadi alat ukur derajat legitimasi politik Paslon terpilih.
Pendekatan normatif yang dimaksud sangat simpel dan cenderung bersifat prosedural. Misalnya, selama proses Pemilu diselenggarakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku maka legitimasi politik dianggap cukup.
Sementara berdasarkan pendekatan kualitatif, keterpilihan Paslon dapat dianggap legitimate jika Pemilu berlangsung meriah, dinamis sekaligus aman dan tertib meski kegiatan kampanyenya misalnya diwarnai "pertengkaran" di media sosial. Atau, angka partisipasi pemilih kemudian ternyata rendah.
Oleh karenanya maka angka-angka simulatif itu tetap penting difahami dan disadari oleh para pihak, terutama peserta Pemilu, yakni partai politik dan juga pasangan calon dalam kasus Pilpres.
Penting sebagai gambaran seberapa banyak sebetulnya rakyat memberikan dukungan. Seberapa kuat rakyat mengamanatkan mandate. Dan akhirnya seberapa solid rakyat memberikan penerimaan dan persetujuan atas keterpilihan Paslon Capres-Cawapres dan dalam menjalankan pemerintahan kelak pasca mereka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.
Berbasis kesadaran itulah semua pihak mestinya jadi tergugah dan terpicu untuk sama-sama bekerja keras mengajak, mendorong dan merangsang (tentu dengan cara yang legal, halal dan bermoral) para pemilih untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Jangan hanya mengandalkan penyelenggara Pemilu yang kapasitas dan ketersediaan personilnya terbatas.
Cermin kesadaran bernegara
Selain karena terkait dengan aspek legitimasi politik, partisipasi pemilih dalam suatu Pemilu juga penting untuk mengukur seberapa tinggi derajat kesadaran bernegara.
Menjadi warga negara dalam tradisi demokrasi tak cukup hanya menjadi warga yang pasif. Terlebih untuk urusan yang sangat strategis dan menentukan nasib negara bangsa ke depan seperti Pemilu.Â
"Hitam-Putih" sejarah masa depan bangsa ini ditentukan bersama oleh seluruh komponen warga negara, tanpa kecuali.
Kata kuncinya sekali lagi "partisipasi". Antusiasme pemilih datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya mencerminkan kesadaran baik personalnya sebagai warga negara. Sebaliknya, apatisme pemilih terhadap perhelatan Pemilu adalah isyarat rendahnya kesadaran bernegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H