Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Masih Soal Partisipasi Pemilih, Mengapa Penting?

6 Oktober 2023   09:55 Diperbarui: 8 Oktober 2023   04:13 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pemilu | sumber: shutterstock via kompas.com

Jumlah total angka partisipasi pemilih sebesar 163 jutaan itu tentu saja tidak diraih oleh satu pasangan kandidat. Jika, taruhlah Pilpres terjadi dua putaran dan pemenangnya memperoleh angka 60% (lagi-lagi merujuk pada capaian prosentase Pemilu 2019 untuk sekedar memudahkan perbandingan), maka pasangan kandidat terpilih itu sesungguhnya hanya dipilih oleh 97 jutaan pemilih.

Angka 97 jutaan itu jauh dibandingkan dengan jumlah pemilih dalam DPT sebanyak 204 jutaan. Jika diprosentase hanya sebesar 40%. Lebih jauh lagi jika dibandingkan dengan jumlah total penduduk (rakyat) yang 270 jutaan. Hanya sekitar 35%.

Jadi, dengan asumsi angka-angka optimistik saja (80% tingkat partisipasi pemilih tadi), jumlah dukungan ril yang diraih pasangan Capres-Cawapres terpilih sesungguhnya sangat rendah. 

Bisa dibayangkan, bisa dikalkulasi sendiri bagaimana jika tingkat partisipasi hanya mencapai angka 70% atau lebih rendah lagi. Betapa makin sedikitnya sesungguhnya rakyat yang secara ril memberikan dukungan pada paslon terpilih.

Partisipasi dan legitimasi

Tentu saja, derajat legitimasi politik pasangan Capres-Cawapres terpilih tidak melulu hanya diukur berdasarkan pendekatan kuantitatif sebagaimana disimulasikan di atas. Pendekatan normatif dan pendekatan kualitatif juga bisa menjadi alat ukur derajat legitimasi politik Paslon terpilih.

Pendekatan normatif yang dimaksud sangat simpel dan cenderung bersifat prosedural. Misalnya, selama proses Pemilu diselenggarakan berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku maka legitimasi politik dianggap cukup.

Sementara berdasarkan pendekatan kualitatif, keterpilihan Paslon dapat dianggap legitimate jika Pemilu berlangsung meriah, dinamis sekaligus aman dan tertib meski kegiatan kampanyenya misalnya diwarnai "pertengkaran" di media sosial. Atau, angka partisipasi pemilih kemudian ternyata rendah.

Oleh karenanya maka angka-angka simulatif itu tetap penting difahami dan disadari oleh para pihak, terutama peserta Pemilu, yakni partai politik dan juga pasangan calon dalam kasus Pilpres.

Penting sebagai gambaran seberapa banyak sebetulnya rakyat memberikan dukungan. Seberapa kuat rakyat mengamanatkan mandate. Dan akhirnya seberapa solid rakyat memberikan penerimaan dan persetujuan atas keterpilihan Paslon Capres-Cawapres dan dalam menjalankan pemerintahan kelak pasca mereka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

Berbasis kesadaran itulah semua pihak mestinya jadi tergugah dan terpicu untuk sama-sama bekerja keras mengajak, mendorong dan merangsang (tentu dengan cara yang legal, halal dan bermoral) para pemilih untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya. Jangan hanya mengandalkan penyelenggara Pemilu yang kapasitas dan ketersediaan personilnya terbatas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun