Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Wacana Dua Poros, Jangan Sepelekan Konstituen

27 September 2023   10:35 Diperbarui: 28 September 2023   07:15 654
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski berbagai pernyataan telah dikemukakan oleh sejumlah elit partai dari masing-masing poros yang saat ini sudah mengerucut formasinya, wacana dua poros koalisi Pilpres masih terus bergulir. 

Seperti ada pihak-pihak yang ambisius dan mendorong wacana ini untuk dipaksa-wujudkan, entah dengan cara apa dan formasi bagaimana.  

Dalam konstelasi elektoral diskursus ini memang sah-sah saja dilakukan. Pun ketika hal ini menjadi pilihan kehendak karena pertimbangan-pertimbangan kalkulatif pemenangan.

Tetapi penting kiranya para pihak juga menghitung dengan bijak dan realistis aspek-aspek di luar urusan menang-kalah kontestasi. 

Salah satunya adalah soal pilihan sikap pemilih yang saat ini telah mengerucut mengikuti formasi tiga poros yang sudah terbentuk. Sisi ini patut jadi perhatian karena bisa memengaruhi psikologi politik para pemilih (konstituen) terhadap pelaksanaan Pemilu 2024.

Konstituen Fanatik

Siapa atau kelompok masyarakat mana menjadi konstituen poros mana tentu tidak terlalu sulit untuk dipetakan. 

Pada ketiga sosok bakal Capres yang saat ini mendekati final pemetaan ini bisa dilakukan. Karena jauh sebelum akhirnya Prabowo, Anies dan Ganjar ditetapkan sebagai Bacapres.

Ketiganya merupakan figur-figur yang sudah lama menjadi perhatian publik. Dan yang paling penting mereka masuk dalam arena pacu pra-kontestasi menuju Pemilu 2024.

Mereka bertiga, melalui proses yang tidak pendek, akhirnya tampil sebagai figur-figur paling populer, elektabel dan dikehendaki publik dari belasan atau puluhan tokoh yang mengorbit di arena pacu pra-kontestasi Pemilu 2024.

Setidaknya itulah fakta yang dibaca oleh partai politik. Bisa karena didasarkan pada hasil dari proses pemantauan internal parpol, bisa juga karena hasil sigi lembaga-lembaga survei. 

Yang pasti, begitu nama-nama ketiganya diumumkan sebagai Bacapres, publik mengidentifikasi diri: "Saya dukung Prabowo, Saya pilih Anies, Saya ikut Ganjar".

Proses identifikasi publik sebagai konstituen ketiga figur itu bahkan ada yang mendahului pendeklarasian mereka sebagai Bacapres. 

Konstituen Prabowo misalnya, yang sebagian dari mereka menganggap Prabowo telah "berkhianat" karena akhirnya bergabung dan masuk ke dalama pemerintahan Jokowi-Ma'ruf, sebagiannya lagi tetap saja dan sudah lama memastikan dirinya bakal tetap mendukung Prabowo. Bagi mereka, Prabowo adalah sosok terbaik untuk meneruskan Jokowi.

Demikian halnya dengan konstituen Anies. Jauh sebelum dideklarasikan Nasdem, bahkan semenjak masih menjabat Gubernur DKI, Anies telah memiliki konstituen sendiri yang dengan semangat membara menginginkannya menjadi Presiden pasca Jokowi berakhir nanti. 

Jejak digital fakta-fakta ini misalnya bisa dengan mudah dilacak di berbagai platform media. Mereka tidak peduli Anies dituduh lawan-lawan politiknya atau para pengamat pernah menggunakan politik identitas untuk memenangi Pikada DKI 2017. Bagi mereka, Anies adalah figur paling pantas jadi Presiden.

Terakhir Ganjar. Tidak jauh berbeda dengan Prabowo dan Anies, jauh sebelum akhirnya ditetapkan sebagai Bacapres PDIP oleh Megawati, Ganjar juga telah memiliki konstituen sendiri. 

Dan, meski secara hipotetik mungkin tidak sebanyak yang berada di belakang Prabowo dan Anies, di belakang Ganjar juga berdiri deretan konstituen fanatik. 

Mereka tidak peduli pada sosoknya tersemat sebutan ledekan sebagai "petugas partai" atau "boneka Megawati". Pokoke Ganjar.  

Jangan Sepelekan Mereka 

Para pemilih yang saat ini sudah memposisikan diri ada di barisan Prabowo, Anies dan Ganjar, yang masing-masing teramat sangat yakin dengan figur-figur pilihannya itu adalah konstituen-konstituen fanatik di poros masing-masing.

Sebagian dari mereka mungkin saja masuk kategori pemilih emosional dan belum cerdas secara elektoral. 

Namun demikian, mereka tetap saja pemilih, yang patut dihargai pilihan sikapnya. Yang menarik, jika dibaca di ruang-ruang diskursus platform media digital, di antara para konstituen fanatik ini adalah juga para pemilih rasional. Mereka mendukung Prabowo, Anies atau Ganjar karena berbagai petimbangan kritis dan berbasis nalar.

Jejak digital percakapan mereka, argumentasi nalar di belakang pilihan mereka dengan mudah bisa ditelusuri di berbagai platform media. Masif dan terus bertumbuh subur dari waktu ke waktu.

Terhadap para pendukung dan pemilih fanatik itu, seyogyanya para elit (baik di lingkungan partai politik maupun non-partai politik) memberikan perhatian serius. 

Jangan sesekali menyepelekan keberadaan mereka dengan menegasikan pilihan-pilihan sikapnya yang sudah semakin mengerucut dan solid saat ini dengan ambisi-ambisi yang jauh dari bijak. Misalnya yang saat ini tengah ramai dan disinggung di depan tadi, yakni memaksakan terwujudnya dua poros koalisi Pilpres.

Potensi Buruk

Upaya memaksakan terwujudnya dua poros koalisi Pilpres dengan formasi apapun potensial bisa melahirkan, sedikitnya dua dampak buruk bagi kehidupan politik dan praktik berdemokrasi di republik ini.

Dalam jangka pendek dan segera bisa memicu kekecewaan, bahkan amarah para konstituen fanatik yang sudah berbaris solid di belakang masing-masing figur pilihannya. Kekecewaan dan amarah ini niscaya akan membutuhkan kanal penyaluran psikologi politik. 

Celaknya, pilihan kanal yang tersedia sama-sama buruk: Golput masif pada 14 Februari 2024 nanti dan/atau pembangkangan terhadap praktik politik elektoral yang pasti akan dianggap sekedar mainan para elit untuk saling bertukar posisi dan mewujudkan syahwat kuasa belaka.

Sementara dalam jangka panjang kekecewaan dan amarah itu juga berpotensi melahirkan ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap sistem politik, terhadap segala praktik yang berhubungan dengan urusan politik-pemerintahan, bahkan terhadap praktik berdemokrasi.

Jadi, ayo para elit atau mastermind di panggung belakang Pemilu (siapapun kalian), pikirkanlah soal ini. Jangan mengumbar egois dan ambisi kuasa semata. 

Biarkan para pemilih mengekspresikan dan mengartikulasikan pilihan-pilihan sikapnya dengan bebas dan bermakna.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun