Sebagian dari mereka mungkin saja masuk kategori pemilih emosional dan belum cerdas secara elektoral.Â
Namun demikian, mereka tetap saja pemilih, yang patut dihargai pilihan sikapnya. Yang menarik, jika dibaca di ruang-ruang diskursus platform media digital, di antara para konstituen fanatik ini adalah juga para pemilih rasional. Mereka mendukung Prabowo, Anies atau Ganjar karena berbagai petimbangan kritis dan berbasis nalar.
Jejak digital percakapan mereka, argumentasi nalar di belakang pilihan mereka dengan mudah bisa ditelusuri di berbagai platform media. Masif dan terus bertumbuh subur dari waktu ke waktu.
Terhadap para pendukung dan pemilih fanatik itu, seyogyanya para elit (baik di lingkungan partai politik maupun non-partai politik) memberikan perhatian serius.Â
Jangan sesekali menyepelekan keberadaan mereka dengan menegasikan pilihan-pilihan sikapnya yang sudah semakin mengerucut dan solid saat ini dengan ambisi-ambisi yang jauh dari bijak. Misalnya yang saat ini tengah ramai dan disinggung di depan tadi, yakni memaksakan terwujudnya dua poros koalisi Pilpres.
Potensi Buruk
Upaya memaksakan terwujudnya dua poros koalisi Pilpres dengan formasi apapun potensial bisa melahirkan, sedikitnya dua dampak buruk bagi kehidupan politik dan praktik berdemokrasi di republik ini.
Dalam jangka pendek dan segera bisa memicu kekecewaan, bahkan amarah para konstituen fanatik yang sudah berbaris solid di belakang masing-masing figur pilihannya. Kekecewaan dan amarah ini niscaya akan membutuhkan kanal penyaluran psikologi politik.Â
Celaknya, pilihan kanal yang tersedia sama-sama buruk: Golput masif pada 14 Februari 2024 nanti dan/atau pembangkangan terhadap praktik politik elektoral yang pasti akan dianggap sekedar mainan para elit untuk saling bertukar posisi dan mewujudkan syahwat kuasa belaka.
Sementara dalam jangka panjang kekecewaan dan amarah itu juga berpotensi melahirkan ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap sistem politik, terhadap segala praktik yang berhubungan dengan urusan politik-pemerintahan, bahkan terhadap praktik berdemokrasi.
Jadi, ayo para elit atau mastermind di panggung belakang Pemilu (siapapun kalian), pikirkanlah soal ini. Jangan mengumbar egois dan ambisi kuasa semata.Â