Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Perlu Janji Bersama untuk Menolak Politisasi Identitas

19 September 2023   13:55 Diperbarui: 20 September 2023   06:23 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: kompas.id

Mendekati masa-masa krusial pelaksanaan Pemilu 2024, fenomena politik identitas kian terasa membayangi pikiran publik. Terlebih setelah munculnya tayangan azan di stasiun televisi yang menampilkan sosok Ganjar Pranowo, bakal Capres PDIP beberapa waktu lalu. 

Kasus itu sempat memicu reaksi publik dan mengundang pro-kontra di tengah masyarakat. Namun, terlepas dari kontroversinya, kasus ini sebetulnya telah memberikan "hikmah" kepada kita perihal satu isu yang selama ini dicemaskan, yakni isu politik identitas.

Ganjar telah mengajak publik untuk "melawan lupa" perihal keterbelahan sosial yang pernah dialami bangsa ini sebagai dampak dari maraknya penggunaan politik identitas pada pemilu-pemilu sebelumnya.

Dalam kaitannya dengan perhelatan elektoral, bangsa ini memang punya pengalaman pahit dengan isu politik identitas. Ia telah menorehkan luka sosial, yang sisanya bahkan masih terasa hingga saat ini.

Alat Pemenangan 

Dalam perspektif akademik, identitas sesungguhnya bukanlah sesuatu yang menyeramkan. Ia setara saja dengan berbagai sisi natural kehidupan manusia yang dalam peradaban dan tradisi demokrasi wajib diberi ruang hidup dan dihormati, misalnya perbedaan dan keragaman.

Identitas menjadi masalah ketika ia dikapitalisasi untuk kepentingan-kepentingan pragmatis berorientasi keuntungan kelompok, keluarga, atau pribadi sambil mengabaikan kemaslahatan publik, kemaslahatan bersama.

Dalam kerangka perhelatan Pemilu. upaya mengapitalisasi inilah yang kemudian dikenal dengan istilah politik identitas, yakni penggunaan identitas primordial tertentu (yang paling sering adalah agama dan etnik atau ras) untuk kepentingan meraih dukungan pemilih dan memenangi kontestasi.

Tanpa bermaksud membuka luka lama, melainkan semata-mata untuk "melawan lupa" bahwa bangsa ini pernah nyaris terjerumus cukup dalam ke jurang bahaya, isu politik identitas dalam konteks perhelatan elektoral di Indonesia mengemuka secara serius untuk pertama kalinya pada Pemilu 2014.

Pada Pilkada DKI 2017 isu ini mengalami peningkatan. Belum lagi melandai, di sepanjang waktu perhelatan Pemilu serentak 2019 isu politik identitas kembali muncul dengan tensi kegaduhan yang tak kalah kuat, bahkan memicu polarisasi di tengah masyarakat. Aspek identitas primordial yang menjadi titik tekan adalah agama dan etnisitas.

Jika merujuk pada perspektif akademik, Agnes Heller dan Donald L Morowitz misalnya, mereka melihat politik identitas sebetulnya hadir sebagai bentuk kesadaran individu untuk mengelaborasi identitas partikular (khas) dalam bentuk relasi identitas primordial, khususnya etnik dan agama. Dengan cara ini secara sosiologis suatu kelompok membangun soliditas internal, harmoni, dan kesetiakawanan.  

Akan tetapi, dalam praktiknya kemudian, gagasan politik identitas kerap mengalami transformasi menjadi instrumen politik untuk meraih kekuasaan dan/atau mempertahankan status quo oleh pihak-pihak yang saling berkompetisi.

Dalam posisi sebagai alat untuk memenangi kontestasi kekuasaan, politik identitas dikapitalisasi secara vulgar dengan mengabaikan dampak sosiopolitik yang diakibatkannya.

Sebagaimana ditunjukkan oleh berbagai hasil riset dan fenomena praksisnya, strategi mengkapitalisasi isu-isu identitas sebagai salah satu faktor non-elektoral untuk meraih simpati dan memenangi kontestasi terbukti telah melahirkan kegaduhan dan pertengkaran dalam masyarakat, baik di ruang digital maupun dalam kehidupan nyata keseharian masyarakat.

Tidak sedikit dalam satu keluarga atau antartetangga bertengkar lantaran beda dukungan dan pilihan. Lebih jauh dari sekadar gaduh dan bertengkar, tebaran isu-isu identitas yang dikapitalisasi kemudian memengaruhi persepsi dan perilaku elektoral para pemilih dari masing-masing kubu ini dan akhirnya mengarahkan masyarakat Indonesia pada situasi keterbelahan (polarisasi) sosial-politik di berbagai daerah.

Pemilu sejatinya memang merupakan ajang konflik politik untuk memperebutkan kekuasaan, namun pelaksanaannya didesain demikian rupa hingga tetap berlangsung tertib, aman, dan damai. Merebaknya fenomena pengerasan dan eskalasi isu-isu identitas konflik dalam Pemilu menjadi tidak mudah dikelola dan dikendalikan.

Perlu Janji Bersama

Kita tentu berharap Pemilu 2024 ini berlangsung dalam suasana fair, kompetitif, dan demokratis, namun sekaligus tertib, aman, dan damai. Minus penggunaan politik identitas sebagai alat pemenangan.

Biarlah identitas yang melekat secara natur dalam individu-individu dan kelompok-kelompok warga negara berhenti sebagai ciri khas, karakteristik, dan kekayaan bangsa Indonesia saja. Jangan kemudian dikapitalisasi, dipolitisasi sebagai alat untuk memenangi kontestasi.

Untuk itu diperlukan komitmen, janji bersama para pihak, terutama para elite dari setiap kubu yang bertarung di arena Pemilu, baik partai politik maupun pasangan capres-cawapres beserta tim pemenangan dan massa pendukungnya.

Janji untuk menolak dan tidak menggunakan lagi politik identitas dengan cara artikulasi dan bentuk ekspresi apa pun, serta tekad kuat untuk meneguhi janji itu hingga hajat demokrasi nanti berakhir dengan tertib, aman, dan damai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun