Sosok Rocky Gerung terus menyita perhatian berbagai kalangan masyarakat. Belakangan aktifitasnya tak hanya didiskusikan di ruang publik yang lebih memahami Rocky dan menempatkannya dalam konteks relasi kekuasaan dan eksponen-eksponen oposisional yang kritis terhadap pemerintahan Jokowi dan para pendukung fanatiknya. Tetapi juga telah masuk ke dalam area diskursus akademik yang serius namun senyap. Fenomena ini tak pernah dialami para akademisi, aktifis dan para selebritas media sosial yang namanya tak kalah populer, baik yang pro maupun kontra terhadap pemerintahan Jokowi. Rocky beda, ia memang fenomenal.
Diksursus akademik serius dan senyap yang saya maksud adalah, bahwa sosok Rocky belakangan ini banyak dibedah dalam diskursus filsafat. Pertanyaan sentralnya : apakah Rocky seorang filsuf, ataukah tak lebih dari seorang sofis dalam tradisi intelektual Yunani kuno ? Bagi para peminat dan followernya sendiri tampaknya tidak penting siapa Rocky dalam forum percakapan akademis dan kalangan intelektual. Mereka hanya merasa bahwa apa yang disampaikan Rocky dalam ceramah-ceramahnya, khususnya terkait kritik-kritik tajamnya terhadap penguasa sudah mewakili pikiran dan aspirasi mereka.
Sofis berasal dari kata “Sophos”, cerdik pandai artinya. Di era Yunani kuno sebutan ini ditujukan kepada orang-orang pandai terutama dalam di bidang bahasa, filsafat dan politik. Karena kedalaman pengetahuan dan kebijaksanaannya kepada mereka disematkan panggilan Sofis.
Dalam buku klasiknya, Alam Pikiran Yunani, Bung Hatta menjelaskan bahwa sebutan yang awalnya mengandung kebaikan itu berubah maknanya menjadi gelar ejekan, sinisme. Sofis bukan lagi seorang yang cerdik pandai dalam arti yang sebenarnya, melainkan orang-orang yang hanya pandai mengolah kata, bersilat lidah tanpa isi, tak memberi solusi apapun dalam setiap pikiran dan ceramah-ceramah jalanan yang dikemukakannya.
“Ceramah jalanan ?” Ya, para Sofis memang memiliki “kebiasaan baru” di Athena pada masa itu. Ilmu pengetahuan dalam lanskap sejarah peradaban pemikiran Yunani yang semula diajarkan dengan cara senyap, eksklusif, di ruang-ruang pembelajaran (sebutlah semacam “kampus, pesantren atau seminari”), oleh para Sofis dibawa ke luar, diajarkan secara terbuka di jalana, di pasar dan ruang-ruang publik lainnya. Akibatnya, seperti dilukiskan Bung Hatta berikut ini :
“Ilmu yang selama ini dipupuk dengan bertenang-tenang dalam gedung yang sunyi, dibawa sekarang ke tengah pasar dan diobralkan kepada orang banyak. Ahli pikir yang selama ini menyisihkan diri dalam langgarnya berganti dengan guru umum yang mengajar di jalan raya. Karena tindakan mereka itu orang banyak seolah-olah kena suntikan dan berjangkit dengan kepercayaan, bahwa ilmu dapat dituntut dengan mudah. Segala orang gila berguru”.
Rocky, oleh para penyangkalnya disetarakan dengan Sofis. Rocky bukanlah filsuf sebagaimana gelar ini banyak disematkan oleh para pengagum dan followernya. Ia tidak mewarisi tradisi Socrates, Plato atau Aristoteles, yang menjadi antitesa terhadap metode para Sofis dalam memperlakukan ilmu pengetahuan dan mengajarkan pikiran-pikiran kepada masyarakat dengan benar dan berintegritas. Rocky adalah Protagoras yang individualis; Gorgias, orator yang piawai membantah segala hal tanpa memberi solusi, seorang nihilis; Hippias, seorang yang pandai dan segala bisa; atau Prodikos, seorang moralis yang rajin mencemoohkan kepercayaan orang.
Sepintas, style Rocky mungkin memang mirip dengan para Sofis. Tapi jangan lupa, konteks sosio-historis dimana dan kapan para Sofis hidup dan menjadi “guru-guru jalanan” itu berbeda jauh dengan situasi dimana Rocky memainkan peran sebagai “juru bicara” masyarakat, setidaknya masyarakat yang merasa terwakili suara bathin, pikiran dan aspirasinya.
Para Sofis hidup di era dimana kaidah-kaidah bernegara, norma-norma etik bagaimana kekuasaan dioperasikan, dan prinsip-prinsip rakyat berdaulat masih dalam fase awal pergulatan pemikiran. Rocky dan (kita tentu saja) hidup dimana kaidah-kaidah itu, norma-norma itu, prinsip-prinsip itu sudah sangat jelas rumusan dan formulasinya tanpa bermaksud menegasikan dinamika yang tentu saja masih akan terus berlanjut.
Meski demikian, saya yakin Rocky juga tidak peduli apakah ia dianggap seorang filsuf atau bukan. Baginya, seperti kita cermati dari banyak materi ceramahnya, Rocky bahkan tidak peduli ketika seorang pakar mempertanyakan gelar “Profesornya”. Tentu saja, karena Rocky memang bukan guru besar. “Bukan tidak bisa”, ujarnya. Tapi “tidak perlu”.
Rocky juga tidak pernah mengklaim dirinya seorang filsuf. Sebutan ini disematkan oleh para pendukungnya, followersnya, orang-orang yang menilai level kapasitas Rocky melampau banyak professor, doktor dan para akademisi yang hanya sibuk dengan dirinya sendiri, dengan karirnya, dengan jabatan fungsional dan posisi-posisi strukturalnya.
Padahal kita tahu ada tanggungjawab moral di pundak mereka sebagai intelektual, sebagai cendekiawan yang harus selalu berada di tengah kegelisahan publik lantaran kekuasaan tak memihak pada rakyat dan kerakusan para pemodal menghancurkan lingkungan dan tak menyisakan warisan kebaikan untuk anak-anak bangsa.
Dalam situasi itulah Rocky hadir, situasi dimana mayoritas intelektual menjadi bebal, sebagian besar cendekiawan diam, dan para aktifis sibuk berebut remah-remah kekuasaan yang tak lagi ramah pada pemilik sejati daulatnya. Maka baginya tidak penting apakah orang akan melabeli dirinya dengan sebutan Fisluf atau Sofis. Ia hanya peduli dan terus berikhtiar menjaga nalar sehat publik di tengah banalitas para elit; terus menghidupkan dan menularkannya kepada siapa saja.
Dan silent majority, yang oleh sebab segala keterbatasan yang menghimpit di negara dengan sistem politik yang katanya demokrasi ini, saya kira berhak mendapatkan “juru bicara dan pembela” seperti dirinya. Gas, dan jangan pernah berhenti, bung Rokcy !
Penulis Dosen dan Pegiat Sosial
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H