Salah satu substansi demokrasi adalah memberikan ruang pada keragaman dan perbedaan, dan ini wajib dihormati dan dijaga keberlangsungannya. Karena itu dalam tradisi demokrasi, munculnya perkubuan (polarisasi) politik yang dipicu oleh keragaman dan perbedaan sebetulnya merupakan sesuatu yang lumrah dan tidak mungkin dihindari. Makanya kebiasaan rezim totalitarianisme yang  selalu berusaha melakukan uniformitasi (penyeragaman) dalam kehidupan politik ditolak dimana-mana, karena uniformitasi sejatinya bertentangan dengan prinsip keragaman, kebebasan, dan perbedaan yang harus dijaga dan dihormati dalam tradisi demokrasi.
Secara sederhana istilah polarisasi politik dimaknai sebagai gejala keterbelahan masyarakat kedalam dua kubu (polar) politik secara diametral. Mengapa polarisasi terjadi dalam masyarakat. Beberapa ahli memberikan argumentasi sebagai berikut. J.Q. Wilson melihat keterbelahan ini dilatarbelakangi oleh faktor keterikatan yang kuat terhadap ideologi atau komitmen terhadap kandidat sehingga memecah suatu kelompok dengan kelompok lainnya (Annas dkk, 2019). Sementara itu menurut Nolan McCarty polarisasi juga bisa terjadi karena perbedaan dalam menyikapi isu-isu fundamental (Assyaukanie, 2022); bisa juga karena kebencian terhadap agama dan etnik dalam opini publik (Muhtadi, 2021), dan maraknya klaim politik identitas (Tapsell, 2019).
Tetapi sekali lagi, diatas semua argumen tersebut terdapat satu prinsip dasar demokrasi yang memungkinkan polarisasi terjadi. Yakni adanya kesepakatan untuk menghargai keragaman dan perbedaan, yang bisa saja karena faktor ideologi, penyikapan atas suatu isu atau kebijakan publik, atau karena dipicu oleh latar belakang primordialistik seperti agama, ras dan etnik. Jadi, pada titik ini polarisasi adalah natur demokrasi.
Polarisasi vs Partisipasi
Selain merupakan implikasi bawaan demokrasi yang tidak mungkin dihindari, polarisasi (dengan sejumlah catatan yang akan diuraikan di bagian akhir tulisan ini) sesungguhnya juga dapat memberi dampak positif terhadap perhelatan Pemilu. Sebuah studi menarik dipaparkan oleh Alan Abramowitz (2010), bahwa polarisasi mendorong peningkatan partisipasi politik pemilih. Para pemilih menurut Abramowitz, termotivasi oleh polarisasi politik yang terjadi saat itu. Jumlah pemilih yang lebih tinggi dan keterlibatan dalam kegiatan kampanye adalah hasilnya. Ia kemudian menyimpulkan bahwa mereka yang berpartisipasi adalah mereka yang terpolarisasi.
Studi itu memang dilakukan di Amerika untuk kasus Pemilu Presiden tahun 2004 dan 2008 silam. Namun demikian, di Inonesia simpulan studi ini terkonfirmasi setidaknya dalam tiga perhelatan Pemilu yang diwarnai gejala polarisasi. Yakni Pemilu 2014, Pilkada DKI 2017 dan Pemilu 2019. Pada Pemilu 2014 dimana gejala polarisasi mulai muncul secara tajam tingkat partisipasi politik mencapai angka 75.11 %. Kemudian Pilkada DKI 2017 dimana polarisasi yang dianggap merupakan warisan Pemilu 2014 semakin tajam tingkat partisipasi warga mencapai angka 78% (putaran kedua), jauh melampaui tingkat partisipasi pada Pilkada 2012 yang hanya 68% (putaran kedua). Dan Pemilu serentak 2019 lalu tingkat partisipasi mencapai angka 81,69% untuk Pemilu legislatif dan 89,97% untuk Pilpresnya.
Jadi, sesungguhnya polarisasi tidak selalu buruk, sepanjang ia dapat dikelola dengan baik dan terukur. Polarisasi yang tercermin misalnya dalam visi-misi dan program para kandidat yang secara gagasan dan konseptual berhadapan secara diametral, dan masing-masing mendapatkan dukungan dari para pemilih yang sejalan-sepemikiran tentu akan berdampak pada ikhtiar masing-masing kubu untuk memenangkan kontestasi gagasan itu. Dan ini dengan sendirinya akan mendorong basis pendukung para kandidat untuk datang ke TPS dan menggunakan hak pilihnya.
Mengelola PolarisasiÂ
Lantas mengapa polarisasi dikhawatirkan banyak pihak, terutama menjelang perhelatan Pemilu 2024 mendatang ? Pertama, karena faktanya polarisasi mengarah pada konflik horisontal dan perpecahan antar berbagai elemen bangsa, yang pada ujung ekstremnya bisa saja memporak-porandakan bangunan integrasi bangsa. Kedua, fakta lain, pada level implikasi yang lebih rendah (dibandingkan dengan ancaman terhadap integrasi) polarisasi telah banyak menyedot pikiran dan menghabiskan energi bernegara-bangsa hanya untuk mempertengkarkan isu-isu yang seharusnya tidak menjadi prioritas nasional. Ketiga, polarisasi yang terjadi dan terus berkembang bersitemali dengan politik identitas beralas agama.
Itulah pokok soalnya, dan itulah yang saat ini dialami bangsa Indonesia, terutama sejak Pemilu 2019 lalu. Sebagaimana masih dirasakan gejalanya hingga saat ini, Pemilu 2019 memang telah menimbulkan polarisasi terutama di lapis masyarakat. Polarisasi yang  merebak dan menyisakan residunya sampai saat ini dipicu oleh kontestasi yang tajam dua kubu pasangan calon Presiden-Wakil Presiden yang saling melabeli dengan stigma-stigma buruk satu sama lain. Tanpa bermaksud membangkit-bangkitkan "luka lama" stigmatika itu kiranya cukup dengan meminjam dua istilah vis--vis : "cebong" untuk pendukung Jokowi-Ma'ruf dan "kampret" untuk para pendukung Prabowo-Sandiaga.
Sekarang dan ke depan "pekerjaan rumah" bersama kita adalah bagaimana residu polarisasi Pemilu 2019 yang potensial terulang kembali pada Pemilu 2024 mendatang itu disikapi dan dikelola.
Pertama, membangun kesepakatan dan komitmen di kalangan elit partai maupun non-partai untuk melokalisir polarisasi di wilayah gagasan dan narasi-narasi programatik membangun Indonesia dalam bingkai persatuan dan keutuhan nasional. Aspek-aspek primordialis atau sentimen-sentimen keagamaan, etnisitas, rasialisme, dan kedaerahan harus diminimalisasi sedemikian rupa. Sikap ini penting diturunkan ke akar rumput masing-masing kubu kandidat atau partai politik dan ditumbuh-kembangkan sebagai bagian dari pendidikan politik dan pendewasaan berdemokrasi.
Kedua, sudah saatnya penggunaan buzzer-buzzer politik sekaligus cara-cara mereka memenangkan kontestasi elektoral dihentikan oleh para pihak. Karena terbukti bahwa keberadaan dan perilaku para buzzer yang kerap saling menebar fitnah, framing-framing negatif atas lawan-lawan politik, serta kampanye hitam di ruang publik sejauh ini lebih banyak memicu kegaduhan, pertengkaran dan perpecahan di kalangan masyarakat.
 Ketiga, upaya-upaya pencegahan pelanggaran dan penegakan hukum Pemilu harus lebih diefektifkan dengan cara yang adil, seimbang dan tidak tebang pilih baik oleh penyelenggara Pemilu (khususnya Bawaslu di semua tingkatan) maupun aparat penegak hukum (Kepolisian) jika kasusnya sudah menyentuh aspek pidana Pemilu atau pidana umum.
Last but not least memperbaiki desain Pemilu, khususnya Pilpres, yang sejauh ini masih menerapkan ambang batas pencalonan Presiden-Wapres yang sangat tinggi (20%0, yang kemudian melahirkan implikasi sulitnya kontestasi Pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasang calon. Pilpres hanya dengan dua pasangan calon terbukti sangat mudah memicu polarisasi yang tajam. Meski tidak harus nol persen, ambang batas, sebagaimana telah direkomendasikan para ahli setidaknya diturukan ke angka yang lebih rendah antara 10-15%. Dengan demikian Pilpres bisa diikuti oleh sedikitnya 3 atau bahkan 4 pasangan calon, dan secara politik konstelasi ini dengan sendirinya dapat mengurangi potensi polarisasi didalam masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H