Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mengelola Polarisasi dan Partisipasi Politik

14 Agustus 2023   09:00 Diperbarui: 14 Agustus 2023   09:20 492
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pertama, membangun kesepakatan dan komitmen di kalangan elit partai maupun non-partai untuk melokalisir polarisasi di wilayah gagasan dan narasi-narasi programatik membangun Indonesia dalam bingkai persatuan dan keutuhan nasional. Aspek-aspek primordialis atau sentimen-sentimen keagamaan, etnisitas, rasialisme, dan kedaerahan harus diminimalisasi sedemikian rupa. Sikap ini penting diturunkan ke akar rumput masing-masing kubu kandidat atau partai politik dan ditumbuh-kembangkan sebagai bagian dari pendidikan politik dan pendewasaan berdemokrasi.

Kedua, sudah saatnya penggunaan buzzer-buzzer politik sekaligus cara-cara mereka memenangkan kontestasi elektoral dihentikan oleh para pihak. Karena terbukti bahwa keberadaan dan perilaku para buzzer yang kerap saling menebar fitnah, framing-framing negatif atas lawan-lawan politik, serta kampanye hitam di ruang publik sejauh ini lebih banyak memicu kegaduhan, pertengkaran dan perpecahan di kalangan masyarakat.

 Ketiga, upaya-upaya pencegahan pelanggaran dan penegakan hukum Pemilu harus lebih diefektifkan dengan cara yang adil, seimbang dan tidak tebang pilih baik oleh penyelenggara Pemilu (khususnya Bawaslu di semua tingkatan) maupun aparat penegak hukum (Kepolisian) jika kasusnya sudah menyentuh aspek pidana Pemilu atau pidana umum.

Last but not least memperbaiki desain Pemilu, khususnya Pilpres, yang sejauh ini masih menerapkan ambang batas pencalonan Presiden-Wapres yang sangat tinggi (20%0, yang kemudian melahirkan implikasi sulitnya kontestasi Pilpres diikuti oleh lebih dari dua pasang calon. Pilpres hanya dengan dua pasangan calon terbukti sangat mudah memicu polarisasi yang tajam. Meski tidak harus nol persen, ambang batas, sebagaimana telah direkomendasikan para ahli setidaknya diturukan ke angka yang lebih rendah antara 10-15%. Dengan demikian Pilpres bisa diikuti oleh sedikitnya 3 atau bahkan 4 pasangan calon, dan secara politik konstelasi ini dengan sendirinya dapat mengurangi potensi polarisasi didalam masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun