Pertama, pasca era kenabian yang sakral atau tradisi theokratik tidak ada orang yang suci dan ma’shum. Setiap orang bisa salah, termasuk para pemimpin yang dipercaya dan dipilih oleh mayoritas rakyat sekalipun. Dalam konteks ini, oposisi hadir untuk mengingatkan kemungkinan salah dari para pemimpin.
Kedua, meminjam dalil klasik Lord Acton, power tend to corruptc, and absolute power corrupts absolutely. Dalam kerangka ini oposisi hadir untuk mengontrol naluri purba dan operasi kekuasaan yang cenderung korup.
Dalam sebuah metafor, kaum oposisi lazim disebut sebagai “advocatus diabolli”, “setan yang menyelamatkan”. Kerjanya “mengganggu” (penguasa) layaknya setan, namun “gangguan” itu sesungguhnya dilakukan untuk menyelamatkan kehidupan bersama.
Lipson mengingatkan, bahwa kecenderungan partai-partai besar di banyak negara yang semakin mirip satu dengan yang lainnya perlahan akan menegasikan konsep oposisi dalam praktik penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Sebuah tradisi berdemokrasi yang terbukti efektif dalam mengontrol penyelenggaraan pemerintahan dari kemungkinan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atau kesalahan-kesalahan manajemen pembangunan oleh pemerintah.
Pasca rezim otoritarian orde baru partai-partai sebagai representasi keragaman orientasi politik memang tumbuh subur. Dari arena kontestasi elektoral kemudian muncul partai-partai besar yang mendominasi perhelatan. Dan legal-formal, mereka juga sangat beragam sebagaimana ditunjukkan, setidaknya oleh platform, visi dan warna-warni atributifnya.
Namun dalam dua-tiga periode terakhir rezim elektoral, keragaman ini nyaris tidak berarti ketika relasi kekuasaan pemerintah-parlemen dioperasikan.
Partai-partai yang dalam tradisi demokrasi elektoral mestinya bersedia memainkan fungsi sebagai oposisi karena barisan koalisinya kalah dalam pemilu kemudian lebih memilih bergabung dalam koalisi pemerintahan.
Ringkasnya saat ini kekuatan oposisional sebagai salah satu tradisi penting berdemokrasi dalam konteks relasi kuasa perlemen-pemerintah di Indonesia sedang meredup, mengalami kemerosotan.
Situasi ini terjadi karena ada gejala uniformitasi partai-partai di panggung kepolitikan nasional, yang disadari atau tidak, langsung atau tidak, gejala ini sesungguhnya berdampak pada pengingkaran konsepsi dan praktik oposisional.
Tirani Mayoritas
Problematika distorsif demokrasi Indonesia berikutnya adalah menggejalanya kecenderungan tirani mayoritas oleh rezim elektoral. Lipson sendiri mendefinisikan tirani sebagai perlakuan brutal atau sewenang-wenang oleh kelompok yang lebih besar terhadap sekelompok kecil orang (kaum minoritas), dan diabaikannya hak-hak mereka sebagai minoritas atau apa yang diyakini minoritas sebagai hak mereka.