Mohon tunggu...
Agus Sutisna
Agus Sutisna Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer I Researcher IInstagram : @kiagussutisna

Dosen | Pegiat Sosial | Menulis berharap ridho Allah dan manfaat bagi sesama I Nominee Kompasiana Award 2024 - Best in Opinion

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mengapa Pemilu Tidak Boleh Ditunda?

1 Maret 2022   11:23 Diperbarui: 3 Maret 2022   09:17 1109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Pemilu (KOMPAS/MAHDI MUHAMMAD )

Tanggal 28 Februari (berdasarkan pantauan di media online), kecuali tiga Ketua Umum Partai Politik (PKB, Golkar dan PAN) dan Ketua PBNU, KH. Yahya Cholil Staquf, mendukung wacana penundaan Pemilu 2024.

Sebaliknya, sejak Cak Imin melempar wacana tersebut (23 Februari 2022) berbagai elemen masyarakat bereaksi negatif. Mulai dari pimpinan partai politik (PDIP, Nasdem, PKS, Demokrat dan beberapa partai baru), tokoh masyarakat antara lain KH. Abdul Mu’thi (Sekum PP Muhammadiyah), KH. Amirsyah Tambunan (Sekjen MUI), Hamdan Zoelva (Mantan Ketua MK), para pegiat pemilu, dan para akademisi di berbagai kampus. Semua sepakat: tolak penundaan Pemilu!

Lalu, mengapa Pemilu 2024 tidak boleh ditunda? 

Pertama, Pemilu merupakan amanat UUD 945. Ayat (1) Pasal 22E dengan jelas menyebutkan, bahwa Pemilu dilaksanakan secara luber dan jurdil setiap lima tahun sekali. 

Di dalam ayat (2) dijelaskan, bahwa Pemilu dimaksud diselenggarakan untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wapres, dan DPRD.

Berpijak pada norma tersebut, maka semua regulasi elektoral menyebut dengan lugas bahwa Pemilu merupakan sarana perwujudan kedaulatan rakyat. 

Dengan demikian, menunda pelaksanaan Pemilu dari jadwal yang seharusnya sebagaimana diatur dalam konstitusi tanpa alas argumentasi yang kuat berbasis kepentingan negara bangsa, merupakan bentuk pengurangan sebagian hakekat kedaulatan rakyat.

Kedua, dalam tradisi demokrasi Pemilu merupakan keniscayaan yang di antara tujuannya adalah membatasi kekuasaan. 

Pembatasan kekuasaan ini dilakukan dengan cara penyelenggaraan pemilu secara berkala dan tertib, di samping juga melalui pembatasan maksimal masa jabatan (dalam hal ini adalah kekuasaan-kekuasaan eksekutif, presiden maupun kepala daerah).

Dengan begitu, menunda Pemilu merupakan contradictio in terminis dilihat dari prinsip dan semangat pembatasan kekuasaan dalam tradisi demokrasi. Karena menunda Pemilu berarti memberi kesempatan kepada para pejabat politik (eksekutif maupun legislatif; nasional maupun lokal) untuk menambah durasi kekuasaannya tanpa melalui proses elektorasi.

Dilihat dari sisi legitimasi politik, kekuasaan yang diperoleh dengan cara non-elektoral tentu sangat rawan. Jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif yang dihasilkan melalui proses elektoral saja tidak selalu memiliki derajat legitimasi politik yang tinggi, apalagi kekuasaan yang diperoleh dengan cara cuma-cuma.

Ketiga, pembatasan kekuasaan yang secara kelembagaan dilakukan melalui Pemilu berkala dan pembatasan masa jabatan (eksekutif: presiden dan kepala daerah) yang tidak boleh lebih dari 2 (dua) kali lima tahun merupakan salah satu esensi amanat reformasi 1998. Konsensus pembatasan ini lahir dari pengalaman pahit kepemimpinan politik otoritarian di sepanjang era orde baru.

Dengan demikian, menunda Pemilu yang berarti memperpanjang masa jabatan para pejabat eksekutif maupun legislatif tanpa melalui proses elektoral merupakan bentuk vulgar pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi sekaligus memberi peluang bagi hadirnya kembali kepemimpinan politik otoritarian yang mestinya sudah jadi fosil.

Keempat, jika dicermati dengan seksama, alasan utama yang dikemukakan para pengusung dan pendukung wacana penundaan 

Pemilu adalah soal kondisi ekonomi yang terdampak berat pandemi Covid-19. Menggelar Pemilu tahun 2024 dianggap bakal mengganggu upaya pemerintah dalam menuntaskan pemulihan ekonomi. Di luar alasan ini satu argumen lagi yang patut disebut, yakni kekhawatiran atas situasi pandemik yang bisa memburuk lagi.

Terhadap alasan pemulihan ekonomi, cara berpikir para pengusung wacana ini paradoks satu sama lain. Mereka sendiri yang kerap mengungkapkan dan meyakini bahwa pemerintah sudah berada pada track yang benar dalam upaya pemulihan ekonomi akibat terpaan pandemi. Dan kondisinya saat ini ekonomi sudah semakin membaik. Tapi kemudian hadir dengan narasi yang cenderung mengesankan keraguan atas capaian pemerintah dalam memulihkan perekonomian sejauh ini.

Terkait alasan situasi pandemi Covid-19, para pengusung wacana penundaan Pemilu perlu diingatkan (khawatir amnesia), bahwa Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah situasi pandemik yang jauh lebih parah kondisinya dibanding saat ini. 

Penyebaran virus dalam tensi meningkat, masyarakat belum pada divaksin, bahkan juga belum teredukasi secara memadai soal bahaya Covid-19.

Namun demikian, pemerintah dan DPR waktu itu “memaksakan” Pilkada tetap dilaksanakan. Dan KPU, dengan kesiagaan penuh mematuhi protokol kesehatan dalam seluruh rangkaian tahapan dan kegiatan akhirnya berhasil menggelar Pilkada, bahkan dengan tingkat partisipasi yang tetap tinggi. 

Saat ini, hemat saya, KPU dan seluruh jajarannya di daerah juga dalam posisi siaga untuk menggelar hajat besar elektoral 2024. 

Di samping kesiapan KPU sebagai penyelenggara, masyarakat juga sudah jauh lebih siap dan kondusif dibanding tahun 2020 saat Pilkada digelar. 

Mereka sudah teredukasi dengan baik, vaksin sudah hampir seratus persen, dan tentu saja semua elemen bangsa mestinya juga bisa mengambil hikmah dan belajar pada pengalaman kolektif Pilkada 2020. 

Jadi alasan pemulihan ekonomi dan pandemi untuk menunda Pemilu 2024, hemat saya sangat prematur dan tidak cukup kokoh.

Terakhir, DPR, pemerintah dan penyelenggara Pemilu sudah menyepakati bahwa Pemilu bakal digelar 14 Februari dan Pilkada 27 November 2024. Ini tentu bukan kesepakatan politik ”kaleng-kaleng”. Kesepakatan ini mewakili representasi rakyat, negara dan penyelenggara Pemilu; diputuskan di lembaga dan dalam sidang terhormat DPR RI.

Kemudian, menindaklanjuti kesepakatan bersama itu, KPU dengan sigap mempersiapkan segala yang diperlukan, mulai dari konsolidasi sumber daya manusia, rancangan-rancangan regulasi (PKPU), hingga berbagai perangkat teknologi yang bakal digunakan untuk hajat elektoral 2024 nanti. Pun dengan elemen-elemen masyarakat dan para stakeholder Pemilu; semangat dan gairah demokrasi elektoral mereka mulai bangkit.

Nah, apakah fakta-fakta seputar persiapan demokrasi elektoral ini dengan gampang mau diabaikan dan dikalahkan oleh kepentingan politik sesaat dari sekelompok elit yang gegara elektabilitasnya stagnan, lalu teriak Pemilu harus ditunda? Lucunya negeri ini.       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun