Dilihat dari sisi legitimasi politik, kekuasaan yang diperoleh dengan cara non-elektoral tentu sangat rawan. Jabatan-jabatan eksekutif dan legislatif yang dihasilkan melalui proses elektoral saja tidak selalu memiliki derajat legitimasi politik yang tinggi, apalagi kekuasaan yang diperoleh dengan cara cuma-cuma.
Ketiga, pembatasan kekuasaan yang secara kelembagaan dilakukan melalui Pemilu berkala dan pembatasan masa jabatan (eksekutif: presiden dan kepala daerah) yang tidak boleh lebih dari 2 (dua) kali lima tahun merupakan salah satu esensi amanat reformasi 1998. Konsensus pembatasan ini lahir dari pengalaman pahit kepemimpinan politik otoritarian di sepanjang era orde baru.
Dengan demikian, menunda Pemilu yang berarti memperpanjang masa jabatan para pejabat eksekutif maupun legislatif tanpa melalui proses elektoral merupakan bentuk vulgar pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi sekaligus memberi peluang bagi hadirnya kembali kepemimpinan politik otoritarian yang mestinya sudah jadi fosil.
Keempat, jika dicermati dengan seksama, alasan utama yang dikemukakan para pengusung dan pendukung wacana penundaan
Pemilu adalah soal kondisi ekonomi yang terdampak berat pandemi Covid-19. Menggelar Pemilu tahun 2024 dianggap bakal mengganggu upaya pemerintah dalam menuntaskan pemulihan ekonomi. Di luar alasan ini satu argumen lagi yang patut disebut, yakni kekhawatiran atas situasi pandemik yang bisa memburuk lagi.
Terhadap alasan pemulihan ekonomi, cara berpikir para pengusung wacana ini paradoks satu sama lain. Mereka sendiri yang kerap mengungkapkan dan meyakini bahwa pemerintah sudah berada pada track yang benar dalam upaya pemulihan ekonomi akibat terpaan pandemi. Dan kondisinya saat ini ekonomi sudah semakin membaik. Tapi kemudian hadir dengan narasi yang cenderung mengesankan keraguan atas capaian pemerintah dalam memulihkan perekonomian sejauh ini.
Terkait alasan situasi pandemi Covid-19, para pengusung wacana penundaan Pemilu perlu diingatkan (khawatir amnesia), bahwa Pilkada 2020 diselenggarakan di tengah situasi pandemik yang jauh lebih parah kondisinya dibanding saat ini.
Penyebaran virus dalam tensi meningkat, masyarakat belum pada divaksin, bahkan juga belum teredukasi secara memadai soal bahaya Covid-19.
Namun demikian, pemerintah dan DPR waktu itu “memaksakan” Pilkada tetap dilaksanakan. Dan KPU, dengan kesiagaan penuh mematuhi protokol kesehatan dalam seluruh rangkaian tahapan dan kegiatan akhirnya berhasil menggelar Pilkada, bahkan dengan tingkat partisipasi yang tetap tinggi.
Saat ini, hemat saya, KPU dan seluruh jajarannya di daerah juga dalam posisi siaga untuk menggelar hajat besar elektoral 2024.
Di samping kesiapan KPU sebagai penyelenggara, masyarakat juga sudah jauh lebih siap dan kondusif dibanding tahun 2020 saat Pilkada digelar.