Kaldu dari tulang dan daging ekor sapi sedang mendidih, sukses membuat siapapun yang melihatnya menelan ludah bahkan membayangkan kenikmatan masakan yang masih terlihat hangat itu. Belum lagi ketika Aruna (Dian Sastrowardoyo) menunjukkan tekstur daging yang lepas dari tulang dengan mudahnya terlihat begitu empuk.Â
Sosok Aruna digambarkan sebagai ahli wabah penyakit. Suatu ketika dirinya mendapat tugas dari kantor untuk menyelidiki kasus wabah flu burung yang terjadi di beberapa kota. Hal itu membuka peluang bagi perjalanan lidah Aruna yang membawanya bertualang dalam kuliner Nusantara.Â
Perjalanan itu bukan berarti membuat Aruna melalaikan tugasnya. Jika ingat sebuah pepatah 'sambil menyelam minum air' Ia mengeksplore ragam kuliner sembari mencari ambisi rasa dari sebuah nasi goreng yang dibuat Mbok Sawal yang ia sering makan saat kecil.
Bersama kedua sahabatnya, Bono (Nicholas Saputra) seorang cheff hendak dan mencari inspirasi untuk resep terbarunya, juga Nad (Hannah Al Rashid) yang hendak melakukan observasi persiapan untuk menerbitkan buku keduanya. Disamping itu, sosok yang kerap membuat Aruna salah tingkah, Farish (Oka Antara) Â mantan rekan sekantor yang sempat ditaksir.Â
Bisa dikatakan melalui film ini cukup memanjakan pencinta kuliner bahkan menjadi sarana informasi mengenai kuliner Indonesia. Sekitar lima kota yakni Surabaya, Pamekasan, Pontianak, dan Singkawang di eksplore dengan cara yang apik dan secara tak langsung memperkenalkan makanan khas di wilayah masing-masing.
Bagaimana tidak, lebih dari 10 jenis kuliner menjadi pelengkap dari beberapa adegan karakter utama. Beberapa diantaranya :
Rawon
Kuliner khas Jawa Timur ini di cicipi oleh Bono dan Aruna ketika baru tiba di Surabaya dimana Farish datang bersamanya untuk tugas penelitian wabah. Ciri khas Rawon identik dengan kuah hitam pekat yang didapat dari kluwek, untuk isiannya biasanya menggunakan daging sapi yang dipotong kecil-kecil.
Soto Lamongan
Usai menemui seorang pasien yang berkisah tentang mantan istrinya tentang Soto Lamongan. Aruna dan Bono mencicipi kuliner satu ini. Sebagaimana yang diketahui Indonesia memiliki beraneka macam jenis soto di berbagai nusantara, salah satu yang cukup ternama adalah soto Lamongan dimana khasnya terletak pada bubuk koya (campuran kerupuk udang dan bawang), serta daging ayam yang diiris miring. Tambahan kunyit menjadikan warna kuahnya agak kuning dan tampak segar.Â
Choi pan
Panganan warga Tiong Hoa yang menjadi kuliner khas di Singkawang - Kalimantan Barat ini sudah cukup terkenal. Tekstur kulitnya kenyal, karena terbuat dari tepung sagu dan tepung beras.Â
Untuk isiannya berisi sayuran, sebagai pelengkap ada yang menambahkan dengan ebi atau bangkuang. Proses pembuatannya dengan dikukus hingga matang, kemudian dilumuri minyak bawang dan ditaburi bawang putih goreng. Biasanya makanan ini disajikan dengan saus pedas manis.
Selain itu ada juga Rujak Soto (Banyuwangi), Kacang Kuah Tahwa (Surabaya), Campor Lorjok (Pamekasan - Madura), Pengkang (Pontianak), Mie Kepiting dan Mie Loncat (Singkawang).
Ragam makanan tersebut ditampilkan secara detail secara visual oleh Edwin selaku sutradara dalam film ini, terekspos melalui bagian-bagian rinci di setiap sajian hidangan.Â
"Hati-hati jangan terlalu antipati, ntar simpat, terus empat, terus jatuh hati". Salah satu celetukan seorang Bono kepada Aruna yang kontan mengundang tawa.
Konflik percintaan juga tak lepas dari keempat tokoh utama yang pada akhirnya membawa mereka pada ujung kepastian. Perjalanan pencarian Aruna untuk melepaskan rasa di lidahnya yang tampak bermasalah.Â
Membuat Bono menjadi lebih berani terhadap perasaannya, Farish yang tidak lagi labil, dan Nad yang akhirnya percaya pada sebuah ketulusan. Kisah romansa yang terjadi antara Aruna-Farish serta Bono-Nad begitu elegan dan tidak terlalu drama, semua pas dalam porsi wajar.
Aruna dan Lidahnya diproduksi oleh Palari Films dengan produser Muhammad Zaidy dan Meiske Taurisia. Dialog yang unik tak lepas dari penulis skenario oleh Titien Wattimena. Film yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Laksmi Pamuntjak ini menyajikan tipe film yang tak biasa. Seluruh film ini diceritakan dari sudut pandang Aruna menunjukkan suara hatinya dengan visual yang tak sekedar sebagai tokoh tetapi juga narator yang menginformasikan cerita seakan bicara terhadap penonton melalui ekspresi wajah yang ditampilkan sempurna oleh aktris pemeran Cinta dalam film Ada Apa Dengan Cinta.
Mulai tayang 27 September 2018, mengangkat cerita empat karakter seorang dengan gaya usia 30 tahunan. Tema film yang masih jarang untuk di eksplorasi para sineas di sajikan cukup apik melalui film ini. Rasanya poin 8/10 layak disandangkan untuk film Aruna dan Lidahnya.
Kesimpulan sederhana yang bisa di tarik dari film ini bahwa suasana hati cukup mempengaruhi rasa makanan yang di cecap. Dan hal itu benar adanya, sebuah makanan yang bahkan sangat biasa pun bisa terasa istimewa di kala hati tengah bahagia pun begitu sebaliknya. Ada salah satu dialog dari Bono yang menurut Saya cukup berfilosofi,
"Hidup itu kayak makanan. Dalam satu piring lu bisa ngerasain makanan yang sepahit-pahitnya atau seasin-asinnya, kalau lu makannya sendiri."Â Dialog ketika menikmati nasi campur di sekitaran Pelabuhan Tanjung Perak - Surabaya.
Tour Kuliner bersama Komik
Seakan mewakilkan visualisaai film yang mengangkat seputar Kuliner, bersama teman-teman dari Komik Kompasiana sebelum nonton bareng 'Aruna dan Lidahnya' Kami eksplorasi beberapa kuliner di kawasan Blok M pada 29 Â September 2018.
Dibagi ke dalam beberapa kelompok, kami menyebar ke tempat-tempat sajian hidangan ada yang di kawasan Melawai itu. Saya satu tim bersama Valka, Ka'Nuty dan Ka'Ocha. Kami memesan santapan bertema nusantara.
Setelah melihat-lihat beberapa sajian kuliner disana pilihan Saya jatuh pada Nasi Pecel Madiun. Seakan melepas kerinduan dengan santapan di dalam kereta hendak menuju ke kota Malang. Panganan pecel ini sebenarnya cukup banyak juga dikenal di berbagai daerah lainnya, namun yang cukup ternama kebanyakan adalah pecel Madiun.
Secara umum hidangan yang ada di depan Saya ini berisi sayuran kangkung, kemangi, kacang panjang, tauge kol. Terakhir ditaburi sedikit serundeng dan sambal kacang dengan pelengkap rempeyek dan tempe mendoan. Untuk rasanya cukup enak, tidak asin dan tidak terlalu pedas ternyata cukup aman disantap meski saat itu Saya belum sempat sarapan.
Saya juga memesan Es Pisang Ijo, kudapan asal kota Makassar yang sudah cukup terkenal. Keunikannya dari Es pisang Ijo ini adalah pisang yang dibalut adonan tepung yang berwarna hijau. Ketika disajikan, pisang ijo dipotong-potong lalu diberi santan yang kental sekilas mirip bubur sumsum, kemudian dituang sedikit sirup merah dan susu kental manis. Rasanya cukup menyegarkan.
Yang unik dari cerita Pisang Ijo ini bagi Saya, bermula mengenalnya beberapa tahun silam ketika masih bekerja di sebuah perkantoran. Yang uniknya manager dari divisi tempat Saya bernaung, selalu memberikan es pisang Ijo kepada seluruh staff setiap hari lahirnya. Dari situ Saya baru tahu ada kudapan unik ini karena di domisili Saya tinggal belum banyak yang menjual tidak seperti es cendol yang mudah ditemui.
Film bertema kuliner di Indonesia memang belum terlalu banyak tapi bukan berarti tak ada sama sekali. Jauh sebelumnya ada film Tabula Rasa dengan konflik yang tentu saja sangat berbeda. Itu kian membuktikan bahwa kuliner dan film bisa disatukan dalam suatu hasil karya.
Dengan semakin populernya kuliner banyak hal terjadi dalam bidang ini. Mulai dari jenis bahan baru, kuliner artistik, Â hingga kehidupan seorang chef yang kerap menjadi daya tarik untuk diangkat menjadi sebuah cerita. Disamping itu bagi pencinta kuliner, menonton film kuliner bisa menjadi sumber inspirasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H