Hari itu, 26 Oktober 2010 Gunung berapi paling aktif di dunia meletus lagi, setelah pada tahun 2006 silam yang menelan dua korban jiwa. Letusan kali ini tergolong sangat dahsyat sebab sekian banyak manusia yang harus pergi tinggalan kehidupan gara-gara merapi meletus lagi bahkan sang juru kunci Mbah Maridjan juga ikut pergi. Kepergian Mbah Maridjan setelah diterjang Wedhus Gembel menyimpan sebuah misteri yang mungkin tak terpecahkan. Kepergian abdi dalem Keraton Jogja ini dalam posisi bersujud memunculkan multi tafsir dan misteri. Belum lagi munculnya kepulan Wedhus Gembel di puncak merapi yang menyerupai sosok Mbah Petruk tokoh pewayangan Kuno yang sarat dengan mitos kerajaan Jawa.
Hampir semua orang mengakui Allah itu maha baik, mahakuasa dan maha-maha lain semacamnya. Pemahaman ini dibentuk bahkan terstruktur elok dalam horison berpikir setiap manusia. Tetapi, ketika berhadapan dengan kebobrokan dan penderitaan yang diakibatkan oleh bencana alam seperti tsunami di Mentawai, banjir bandang di Wasior, tanah longsor ataupun letusan Merapi 26 Oktober 2010 di DIY pemahaman itu ternyata mudah lenyap. Manusia kembali mempertanyakan pemahamannya itu. Pertanyaan yang ceplos tanpa bisa ditahan adalah: mengapa Tuhan yang Maha Pengasih, penyanyang, mahabaik, mahakuasa membiarkan semua itu terjadi dan menyandera manusia dan barang-barang kepunyaannya? Mungkinkah Tuhan tidak sepengasih, semahabaik, semahakuasa sebagaimana yang kita pikirkan?
Alasannya, horizon berpikir manusia itu ternyata tidak sesuai dengan kenyataan yang dialaminya. Allah yang mahabaik, mahakuasa dan maha semacamnya, sulit dipahami ketika pemahaman selalu berbicara lain.[1] Dalam pemahaman kita jika Allah itu mahabaik, mahakuasa, maha penyanyang maka seharusnya tidak perlu ada kebobrokan seperti Letusan Merapi atau Tsunami Mentawai yang pada akhirnya menimbulkan korban nyawa dan penderitaan. Alasannya sangat sederhana yakni, Allah tidak mungkin menginginkan sesuatu yang bertentangan dengan Hakikat-Nya. Dalam sifat Allah tidak ada sifat kontradiktif seperti itu. Munculnya kebobrokan dan penderitaan seringkali menggelitik nurani pikir kita. Pertanyaan pun muncul dengan sangat menggugat, benarkah Allah ada? Kalau Allah ada, mengapa Merapi harus meletus menyandera manusia (masyarakat sekitar lereng merapi) dan barang kepunyaannya? Mengapa penderitaan selalu menjadi bagian dari hidup manusia?
Jawaban yang logis atas pertanyaan ini adalah bahwa Tuhan tidak ada. Atau kalau Dia ada, Dia tidak lagi berurusan dengan ciptaan-Nya. Allah itu lebih hanya sebagai causa prima saja. Ia adalah penyebab pertama bagi segala yang ada, dan setelah itu menarik dari dunia tidak mau berurusan dengan dunia lagi. Pernyataan ini benar, karena segala yang ada pasti bergiat sesuai dengan kodratnya. Tidak logis kalau kita mengatakan Allah ada, sementara bukti yang menunjukan keberadaan-Nya tidak ada. Tidak disangkal bahwa kita mengenal sesuatu melalui tindakannya, actus yang sesuai dengan esensinya.
Banyak orang berkata bahwa atribut yang kita kenakan kepada Allah sama sekali tidak mengungkapkan keberadaan-Nya. Allah itu hanya bisa didefinisikan, sebagai yang ada. Keberadaan-Nya tidak bisa dibatasi pada aspek apapun dalam atribut yang dikenakan pada-Nya. Mendefinisikan Allah sebagai yang tak terbatas juga dinilai jauh dari sempurna, karena di sini hanya satu kekurangan disangkal tentang Tuhan.[2]
Argumen yang mengagung-agungkan Allah ini perlu diragukan. Alasannya adalah bahwa di hadapan kenyatan ini (merapi meletus) untuk bertindak sebagai orang baik saja Allah tidak bisa, apalagi yang mengatasi itu. Praktisnya di sini Allah sama sekali tidak berarti. Mungkinkah Allah dibumihanguskan dari bumi atau ikut menjadi korban merapi?
ALLAH DI HADAPAN KEBURUKAN DAN PENDERITAAN
Mendakwa Allah
Pendakwaan terhadap Allah ini berakar pada keraguan manusia akan partisipasi Allah dalam penderitaanya, khususnya yang diakibatkan oleh letusnya Merapi. Dari pengalamannya, manusia merasa bahwa ia menjalani keharusannya untuk menerima penderitaan di hadapan amukan alam yang maha dahsyat seperti letusan merapi yang mengeluarkan wedhus gembel yang berakibat pada lumpuhnya segala ekosistem yang dilaluinya termasuk manusia dengan segala kepunyaanya. Manusia merasa bahwa ia menghadapi amukan alam yang ganas, yang berakhir pada penderitaan dan kematianya tanpa ditemani Tuhan yang sebelumnya diimani sebagai yang maha di atas segala maha. Pertanyaan muncul: lantas di manakah Dia yang maha baik dan semacamnya dan selalu diwartakan menyertai manusia itu? Benarkah Allah itu ada? Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap logis karena berangkat dari hukum berpikir dan bukan tanpa alasan, merapi meletus misalnya.
Di hadapan bencana merapi yang menghantui ketenangan masyarakat sekitarnya, kita dapat berkata : Allah itu tidak sungguh-sungguh berperan dalam hidup manusia dan membiarkan keburukan, bencana dan penderitaan terjadi dalam dunia ciptaan.[3]
Di hadapan kenyataan keburukan alam dan penderitaan semacam ini juga orang bukan saja mempertanyakan kepercayaannya tentang Allah yang diimaninya, tetapi terkadang kembali kepada pola pikir agama tradisional yang melihat Allah sebagai bagian dari alam dan karenanya Allah tunduk kepada hukum alam. Kekuasaan alam melampui kekuasaan Allah. Pandangan agama tradisional sepertinya melihat alam ciptaan ini sebagai sesuatu yang ada dengan seharusnya. Padahal alam dunia yang adalah materi ini serba terbatas dan tidak bisa menjelaskan keberadaanya dari dirinya sendiri. Karena itu harus diterima bahwa alam dunia sesuatu yang diciptakan, dan penciptanya adalah Dia yang serba sempurna dalam dirinya. Dia tidak mengandaikan keberadan yang lain untuk keberadaan-Nya. Dia itu adalah Allah.
Karena itu tidak bisa diterima bahwa Allah tunduk kepada hukum alam. Dia yang menciptakan alam ini tidak mungkin harus tunduk kepada alam. Jika argumentasi di atas tidak dapat diterima, lalu bagaimana kita menjelaskan kehadiran Allah dalam kebobrokan alam (Merapi) yang membasmi sekian banyak orang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti kembali pada premis dasar, argumen penolakan terhadap Allah yakni, adanya kebobrokan (Merapi) mengharuskan kita untuk menolah Allah. Akan tetapi, hemat saya adanya kebobrokan tidak dapat menundukkan dan menghapuskan kebaikan, sebab kebaikan itu sifatnya berdaulat, sementara kebobrokan hanyalah merupakan sebuah privatio boni, kekurangan dari kebaikan. Kebaikan mutlak ada. Kebobrokan muncul sebagai suatu kecelakaan, kejatuhan dari kebaikan. Kebobrokan adalah suatu yang menempel pada kebaikan. Yang ada dan bereksistensi adalah kebaikan. Dalam arti, sesuatu hanya dapat berada sejauh ia mempunyai alasan, potensi untuk berada yaitu kebaikan. Sesuatu itu ada karena baik. Kebobrokan itu tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang ada karena dia tidak bereksistensi. Kebobrokan dalam alam semesta sering diidentikkan dengan kegiatan menghancurkan, memporak-porandakan segala keteraturan yang ada. Jelas bahwa kebobrokan meniadakan yang ada. Tidak berarti bahwa kebobrokan adalah esse yang menghancurkan. Inilah keadaan kehancuran itu sendiri.
Kebobrokan tidak bereksistensikarena ia tidak mempunyai potensi, alasan untuk berada. Ia hanya dapat ada kalau kebaikan mengalami kejatuhan. Di sini kebobrokan adalah kebaikan yang seharusnya ada, walaupun de fakto tidak ada.[4]
Kebaikan sendiri adalah bukti adanya Allah. Karena yang baik mesti dan seharusnya mengalir dari sesuatu yang baik dari dirinya sendiri, tanpa bergantung pada sesuatu yang lain. Sebaliknya kebobrokan tidak bisa dikaitkan dengan Allah karena kebobrokan itu sendiri tidak berasal dari Allah. Karena itu kebobrokan tidak mesti ada dan serentak juga kebobrokan tidak bisa diselaraskan dengan tidak adanya Allah. Mengatakan kebobrokan terlepas dari kebaikan adalah tidak mungkin. Kita hanya dapat menyebut sesuatu sebagi bobrok dalam hubungannya dengan kebaikan.
Oleh karena itu secara kontekstual kebobrokan, bencana seperti tsunami di mentawai dan meletusnya Merapi Jogja bukanlah pertanda tidak adanya Allah. Melainkan peristiwa peneguhan iman. Hal ini diafirmasi dalam kesadaran akan kefanaan sebagai ciptaan Allah melalui transendensi diri dari kenyataan bencana dan penderitaan. Di sana sebenarnya kesadaran bergerak melampui kenyataan untuk mengalami Allah. Sebagai yang mahabaik Allah tentunya menghendaki yang baik pula. Karena itulah yang sepadan dengan eksistensi-Nya sebagai Allah. Ia sendiri tidak mungkin menghendaki kebobrokan karena itu sama sekali bertolak belakang dengan keberadaan-Nya, lagipula sifat itu sama sekali tidak ada padanya. Ia tidak mungkin menghendaki kebobrokan, bencana terjadi dalam dunia ciptaan, karena ia tidak mungkin mengingkari kebaikan dalam diri-Nya sendiri.
Kebobrokan tidak selamanya tanah longsor, tsunami, banjir ataupun letusan gunung berapi seperti merapi dan semacamnya. Adanya kebobrokan muncul sebagai ciri khas dari ciptaan. Artinya yang namanya ciptaan tidak mungkin sempurna. Ciptaan identik dengan keterbatasan dan ketidak-sempurnaan. Kesempurnaan hanya mungkin ada pada sesuatu yang berdiri sendiri, di mana untuk adanya ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain.
Penyertaan Allah dan Otonomi Ciptaan
Allah tidak bisa menjadi causa prima saja dan setelahnya mengambil jarak dari ciptaan. Allah justru berada bersama ciptaan dan ketiadaan penyertaan-Nya hanya dapat dipahami kalau memang ciptaan itu sudah tidak ada lagi. Ciptaan hanya dapat ada karena Allah ada. Karenanya sekali lagi ditegaskan bahwa Allah tidak bisa dilihat sebagai causa prima saja dan setelahnya membiarkan ciptaan bergiat sendiri. Pada prinsipnya ciptaan sama sekali tidak bisa bergiat dalam dirinya. Ciptaan di sini bergiat selama berkat keberadaan secara terus menerus diberikan kepadanya.
Akan tetapi, ciptaan itu berdiri sendiri secara otonom tanpa dipengaruhi oleh daya dari luar dirinya. Dalam hal ini ciptaan mempunyai hak tersendiri atau suatu kegiatan tersendiri yang sama sekali tidak bersifat ilahi. Allah membiarkan ciptaan-Nya berkembang sesuai dengan hukumnya sendiri. Peran Allah di sini hanyalah sebagai pemberi kebebasan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suasana penderitaan yang diakibatkan oleh runtuhan material merapi atau wedhus gembel, kita merindukan datangnya pertolongan Allah yang membebaskan dan mengangkat kita dari penderitaan yang sedang kita alami. Kita mengharapkan agar Allah segera meluputkan kita dari amukan bencana yang membuat kita menderita, tetapi pilihan-Nya adalah menhadi sahabat bagi kita dalam penderitaan itu. Sebab ia tidak mungkin membatalkan adanya kebobrokan itu (Merapi meletus) yang membuat kita menderita karena hal itu sudah menjadi benalu dalam kebaikan yang dikehendaki-Nya. Ia tidak bisa membatalkan bencana alam karena hal itu terjadi sesuai dengan hukumnya, dan semuanya demi suatu keharmonisan.
Tetapi tetap harus ditegaskan bahwa tindakan Allah yang memilih untuk tunduk di bawah kuasa alam ini bukanlah kekecualiaan dari keallahan-Nya. Juga bukan merupakan sebuah selingan dari keberadaan-Nya sebagai Allah. Sebaliknya dalam dan melalui pilihan-Nya itu Allah mau mewahyukan diri-Nya sebagai Allah beserta kita.
Tegangan Antara Berkat dan Kutukan
Ketika terjadi bencana, tidak sedikit orang berkata bahwa hal itu terjadi sebagai luapan bukti amarah Allah. Pertanyaan yang muncul adalah apakah salah dan dosa manusia? Bencana lalu dikaitkan dengan dosa dan kesalahan manusia. Dosa dan kesalahan adalah penyebab segala malapetaka dan bencana yang menghantui ketenagan manusia. Bahkan lebih ekstrem orang-orang yang terkena bencanapun diklaim sebagai orang yang berdosa di hadapan Allah. Tetapi oleh pengklaiman ini lalu kita jelaskan di sini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa bencana alam adalah sebuah peristiwa alam dan Allah membirakan ciptaan-Nya berkembang sesuai dengan hukumnya.
Andaikan dosa adalah penyebab bencana, di manakah Allah yang maha pengampun itu? Tidak yakinkah kita bahwa Allah itu selalu bersedia mengampuni dosa kita? Sesungguhnya ketika dosa dilihat sebagai penyebab bencana, di sana serentak dikonstruksikan wajah Allah yang bengis dan kejam. Atau dengan kata lain, ketika dosa dilihat sebagai penyebab bencana, sesungguhnya kita sedang memake up wajah Allah yang maha pengampun dan maha murah serta maha semacamnya menjadi Allah yang bengis dan kejam.
Sementara itu tentang dosa manusia, Allah telah bersedia menanggung. Allah tidak membebankanya kepada manusia semata. Bahkan Allah telah memilih jalan penderitaan demi tertebusnya dosa manusia. Ketika dosa semata-mata dilihat sebagai penyebab malapetaka dunia dan manusia, di sana sebenarnya kita sedang menyangkal Allah yang juga sudah menderita. Dengan demikian juga yang terjadi adalah penyangkalan akan tertebusnya dosa manusia. Dengan demikian dosa tidak lagi menjadi tanggungan kita. Malapetaka bukanlah suatu hukuman dari-Nya sebab ia tidak menginginkan umat-Nya berada di bawah hukuman. Hidup tanpa duka dan derita bukanlah hidup yang perkasa. Tidak dimaksudkan di sini bahwa bencana alam yang melanda masyarakat sekitar lereng merapi sebagai rancangan Allah untuk kita maknai. Letusan merapi bukanlah rancangan-Nya. Hal itu terjadi sebagai peristiwa alam semata Allah hanya meminta kita untuk mengais makna dari dalamnya agar kita semakin kokoh. Kekokohan inilah yang dipahami sebagai berkat dari bencana tersebut. Karenanya kita diminta untuk menerimanya dengan sikap iman. Mengais makna di balik bencana bukan berarti menyetujuinya demi memperoleh berkat di baliknya. Sementara itu kebebasan manusia untuk luput dari bencana itu sama sekali tidak dibatasi.
Penutup
Adanya penderitaan yang diakibatkan oleh adanya bencana alam seperti letusan merapi memaksa kita untuk mempertanyakan keberadaan Allah. Di pihak lain adanya bencana juga terkadang kita lihat sebagai hukuman dari Allah. Padahal peristiwa itu sendiri adalah peristiwa dari alam, karena ia terjadi berdasarkan hukum alam.
Kebobrokan yang terjadi pada alam ini dilihat sebagai suatu kekurangan dari kebaikan, keteraturan yang sudah menjadi hukumnya. Sebab sebagai yang diciptakan ia tidak bisa sempurna, kekurangan menjadi bagian darinya. Bencana alam seperti letusnya merapi bukanlah pertanda tidak adanya Allah. Bencana alam adalah sesuatu yang alami, sebagai ciri kenisbian alam ciptaan. Lagipula bencana alam di sini sebagai kekurangan, kejatuhan dari keteraturan, kebaikan. Kebaikan, keteraturanlah yang bereksistensi, sedangkan kekaosan, keruntuhan tidak bereksistensi. Yang baik adalah yang mengalir dari Allah. Karenanya Allah tetap ada kapan dan di mana saja, termasuk ketika kita menderita. Segala sesuatu yang terjadi itu adalah demi suatu keharmonisan.
Created by : Walteriano Rahmino Janu Pangul (terry/ techan)
Alumni Seminari St. Karolus Boromeus Scalabrinian
Ruteng-Flores
Mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi UST Jogja
Aktif di kelembagaan Mahasiswa UST
[1] Hipolitus K. Kewuel, Allah Dalam Dunia Postmodern ( Malang : Dioma, 2004), hlm. 9-12
[2] Yosef Pianiazek, metafisika (ms), (Maumere : STFK Ledalero, 2002)
[3] Louis Leahy, Kosmos, Manusia dan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1986) hlm. 102-103
[4] Georg Kirchberger, Pandangan Kristen Tentang Dunia Dan Manusia (Ende: Nusa Indah, 1986), hlm. 167-171: Lois Leahy, Op. Cit., hlm. 105-108
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H