Karena itu tidak bisa diterima bahwa Allah tunduk kepada hukum alam. Dia yang menciptakan alam ini tidak mungkin harus tunduk kepada alam. Jika argumentasi di atas tidak dapat diterima, lalu bagaimana kita menjelaskan kehadiran Allah dalam kebobrokan alam (Merapi) yang membasmi sekian banyak orang?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita mesti kembali pada premis dasar, argumen penolakan terhadap Allah yakni, adanya kebobrokan (Merapi) mengharuskan kita untuk menolah Allah. Akan tetapi, hemat saya adanya kebobrokan tidak dapat menundukkan dan menghapuskan kebaikan, sebab kebaikan itu sifatnya berdaulat, sementara kebobrokan hanyalah merupakan sebuah privatio boni, kekurangan dari kebaikan. Kebaikan mutlak ada. Kebobrokan muncul sebagai suatu kecelakaan, kejatuhan dari kebaikan. Kebobrokan adalah suatu yang menempel pada kebaikan. Yang ada dan bereksistensi adalah kebaikan. Dalam arti, sesuatu hanya dapat berada sejauh ia mempunyai alasan, potensi untuk berada yaitu kebaikan. Sesuatu itu ada karena baik. Kebobrokan itu tidak bisa diklaim sebagai sesuatu yang ada karena dia tidak bereksistensi. Kebobrokan dalam alam semesta sering diidentikkan dengan kegiatan menghancurkan, memporak-porandakan segala keteraturan yang ada. Jelas bahwa kebobrokan meniadakan yang ada. Tidak berarti bahwa kebobrokan adalah esse yang menghancurkan. Inilah keadaan kehancuran itu sendiri.
Kebobrokan tidak bereksistensikarena ia tidak mempunyai potensi, alasan untuk berada. Ia hanya dapat ada kalau kebaikan mengalami kejatuhan. Di sini kebobrokan adalah kebaikan yang seharusnya ada, walaupun de fakto tidak ada.[4]
Kebaikan sendiri adalah bukti adanya Allah. Karena yang baik mesti dan seharusnya mengalir dari sesuatu yang baik dari dirinya sendiri, tanpa bergantung pada sesuatu yang lain. Sebaliknya kebobrokan tidak bisa dikaitkan dengan Allah karena kebobrokan itu sendiri tidak berasal dari Allah. Karena itu kebobrokan tidak mesti ada dan serentak juga kebobrokan tidak bisa diselaraskan dengan tidak adanya Allah. Mengatakan kebobrokan terlepas dari kebaikan adalah tidak mungkin. Kita hanya dapat menyebut sesuatu sebagi bobrok dalam hubungannya dengan kebaikan.
Oleh karena itu secara kontekstual kebobrokan, bencana seperti tsunami di mentawai dan meletusnya Merapi Jogja bukanlah pertanda tidak adanya Allah. Melainkan peristiwa peneguhan iman. Hal ini diafirmasi dalam kesadaran akan kefanaan sebagai ciptaan Allah melalui transendensi diri dari kenyataan bencana dan penderitaan. Di sana sebenarnya kesadaran bergerak melampui kenyataan untuk mengalami Allah. Sebagai yang mahabaik Allah tentunya menghendaki yang baik pula. Karena itulah yang sepadan dengan eksistensi-Nya sebagai Allah. Ia sendiri tidak mungkin menghendaki kebobrokan karena itu sama sekali bertolak belakang dengan keberadaan-Nya, lagipula sifat itu sama sekali tidak ada padanya. Ia tidak mungkin menghendaki kebobrokan, bencana terjadi dalam dunia ciptaan, karena ia tidak mungkin mengingkari kebaikan dalam diri-Nya sendiri.
Kebobrokan tidak selamanya tanah longsor, tsunami, banjir ataupun letusan gunung berapi seperti merapi dan semacamnya. Adanya kebobrokan muncul sebagai ciri khas dari ciptaan. Artinya yang namanya ciptaan tidak mungkin sempurna. Ciptaan identik dengan keterbatasan dan ketidak-sempurnaan. Kesempurnaan hanya mungkin ada pada sesuatu yang berdiri sendiri, di mana untuk adanya ia tidak membutuhkan sesuatu yang lain.
Penyertaan Allah dan Otonomi Ciptaan
Allah tidak bisa menjadi causa prima saja dan setelahnya mengambil jarak dari ciptaan. Allah justru berada bersama ciptaan dan ketiadaan penyertaan-Nya hanya dapat dipahami kalau memang ciptaan itu sudah tidak ada lagi. Ciptaan hanya dapat ada karena Allah ada. Karenanya sekali lagi ditegaskan bahwa Allah tidak bisa dilihat sebagai causa prima saja dan setelahnya membiarkan ciptaan bergiat sendiri. Pada prinsipnya ciptaan sama sekali tidak bisa bergiat dalam dirinya. Ciptaan di sini bergiat selama berkat keberadaan secara terus menerus diberikan kepadanya.
Akan tetapi, ciptaan itu berdiri sendiri secara otonom tanpa dipengaruhi oleh daya dari luar dirinya. Dalam hal ini ciptaan mempunyai hak tersendiri atau suatu kegiatan tersendiri yang sama sekali tidak bersifat ilahi. Allah membiarkan ciptaan-Nya berkembang sesuai dengan hukumnya sendiri. Peran Allah di sini hanyalah sebagai pemberi kebebasan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam suasana penderitaan yang diakibatkan oleh runtuhan material merapi atau wedhus gembel, kita merindukan datangnya pertolongan Allah yang membebaskan dan mengangkat kita dari penderitaan yang sedang kita alami. Kita mengharapkan agar Allah segera meluputkan kita dari amukan bencana yang membuat kita menderita, tetapi pilihan-Nya adalah menhadi sahabat bagi kita dalam penderitaan itu. Sebab ia tidak mungkin membatalkan adanya kebobrokan itu (Merapi meletus) yang membuat kita menderita karena hal itu sudah menjadi benalu dalam kebaikan yang dikehendaki-Nya. Ia tidak bisa membatalkan bencana alam karena hal itu terjadi sesuai dengan hukumnya, dan semuanya demi suatu keharmonisan.
Tetapi tetap harus ditegaskan bahwa tindakan Allah yang memilih untuk tunduk di bawah kuasa alam ini bukanlah kekecualiaan dari keallahan-Nya. Juga bukan merupakan sebuah selingan dari keberadaan-Nya sebagai Allah. Sebaliknya dalam dan melalui pilihan-Nya itu Allah mau mewahyukan diri-Nya sebagai Allah beserta kita.