Tegangan Antara Berkat dan Kutukan
Ketika terjadi bencana, tidak sedikit orang berkata bahwa hal itu terjadi sebagai luapan bukti amarah Allah. Pertanyaan yang muncul adalah apakah salah dan dosa manusia? Bencana lalu dikaitkan dengan dosa dan kesalahan manusia. Dosa dan kesalahan adalah penyebab segala malapetaka dan bencana yang menghantui ketenagan manusia. Bahkan lebih ekstrem orang-orang yang terkena bencanapun diklaim sebagai orang yang berdosa di hadapan Allah. Tetapi oleh pengklaiman ini lalu kita jelaskan di sini seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa bencana alam adalah sebuah peristiwa alam dan Allah membirakan ciptaan-Nya berkembang sesuai dengan hukumnya.
Andaikan dosa adalah penyebab bencana, di manakah Allah yang maha pengampun itu? Tidak yakinkah kita bahwa Allah itu selalu bersedia mengampuni dosa kita? Sesungguhnya ketika dosa dilihat sebagai penyebab bencana, di sana serentak dikonstruksikan wajah Allah yang bengis dan kejam. Atau dengan kata lain, ketika dosa dilihat sebagai penyebab bencana, sesungguhnya kita sedang memake up wajah Allah yang maha pengampun dan maha murah serta maha semacamnya menjadi Allah yang bengis dan kejam.
Sementara itu tentang dosa manusia, Allah telah bersedia menanggung. Allah tidak membebankanya kepada manusia semata. Bahkan Allah telah memilih jalan penderitaan demi tertebusnya dosa manusia. Ketika dosa semata-mata dilihat sebagai penyebab malapetaka dunia dan manusia, di sana sebenarnya kita sedang menyangkal Allah yang juga sudah menderita. Dengan demikian juga yang terjadi adalah penyangkalan akan tertebusnya dosa manusia. Dengan demikian dosa tidak lagi menjadi tanggungan kita. Malapetaka bukanlah suatu hukuman dari-Nya sebab ia tidak menginginkan umat-Nya berada di bawah hukuman. Hidup tanpa duka dan derita bukanlah hidup yang perkasa. Tidak dimaksudkan di sini bahwa bencana alam yang melanda masyarakat sekitar lereng merapi sebagai rancangan Allah untuk kita maknai. Letusan merapi bukanlah rancangan-Nya. Hal itu terjadi sebagai peristiwa alam semata Allah hanya meminta kita untuk mengais makna dari dalamnya agar kita semakin kokoh. Kekokohan inilah yang dipahami sebagai berkat dari bencana tersebut. Karenanya kita diminta untuk menerimanya dengan sikap iman. Mengais makna di balik bencana bukan berarti menyetujuinya demi memperoleh berkat di baliknya. Sementara itu kebebasan manusia untuk luput dari bencana itu sama sekali tidak dibatasi.
Penutup
Adanya penderitaan yang diakibatkan oleh adanya bencana alam seperti letusan merapi memaksa kita untuk mempertanyakan keberadaan Allah. Di pihak lain adanya bencana juga terkadang kita lihat sebagai hukuman dari Allah. Padahal peristiwa itu sendiri adalah peristiwa dari alam, karena ia terjadi berdasarkan hukum alam.
Kebobrokan yang terjadi pada alam ini dilihat sebagai suatu kekurangan dari kebaikan, keteraturan yang sudah menjadi hukumnya. Sebab sebagai yang diciptakan ia tidak bisa sempurna, kekurangan menjadi bagian darinya. Bencana alam seperti letusnya merapi bukanlah pertanda tidak adanya Allah. Bencana alam adalah sesuatu yang alami, sebagai ciri kenisbian alam ciptaan. Lagipula bencana alam di sini sebagai kekurangan, kejatuhan dari keteraturan, kebaikan. Kebaikan, keteraturanlah yang bereksistensi, sedangkan kekaosan, keruntuhan tidak bereksistensi. Yang baik adalah yang mengalir dari Allah. Karenanya Allah tetap ada kapan dan di mana saja, termasuk ketika kita menderita. Segala sesuatu yang terjadi itu adalah demi suatu keharmonisan.
Created by : Walteriano Rahmino Janu Pangul (terry/ techan)
Alumni Seminari St. Karolus Boromeus Scalabrinian
Ruteng-Flores
Mahasiswa semester akhir Fakultas Psikologi UST Jogja
Aktif di kelembagaan Mahasiswa UST
[1] Hipolitus K. Kewuel, Allah Dalam Dunia Postmodern ( Malang : Dioma, 2004), hlm. 9-12
[2] Yosef Pianiazek, metafisika (ms), (Maumere : STFK Ledalero, 2002)
[3] Louis Leahy, Kosmos, Manusia dan Allah (Yogyakarta: Kanisius, 1986) hlm. 102-103