Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Saat Emas Hitam Teksas Wonocolo Tak Lagi Menjanjikan

5 Januari 2021   03:58 Diperbarui: 6 Januari 2021   01:12 2611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bukit dipenuhi sumur tradisional di Desa Wonocolo | KOMPAS.com/Achmad Faizal

"Tahun 2013-2014, sumur minyak bisa mendapatkan 5 ton per hari. Jika diolah bisa menghasilkan ratusan liter solar. Sekarang hasilnya tidak menentu, Mas" keluh Ernawan, sembari tangannya cekatan memasukkan kayu bakar ke tungku penyulingan minyak. "Kondisi sekarang ini sulit. Cari kerja lain juga susah. Jadi, daripada nggak kerja, ya kita telateni yang ada. Biar asap dapur tetap mengepul." ungkap Ernawan lagi

Masa keemasan sumur minyak tradisional Wonocolo, Bojonegoro sudah berlalu. Emas hitam alias minyak bumi Wonocolo sudah tidak lagi menjanjikan. Volume minyak yang diambil dari perut bumi sudah sangat jauh berkurang.

Akibatnya, banyak kepala keluarga yang selama ini menggantungkan hidupnya pada pengambilan minyah mentah dan penyulingan minyak jadi solar sangat kesulitan mencukupi kebutuhan ekonominya. 

Kilang Minyak Tradisional Wonocolo, Bojonegoro
Kilang Minyak Tradisional Wonocolo, Bojonegoro

Pak Ernawan di tenpat penyulingan minyak tradisionalnya
Pak Ernawan di tenpat penyulingan minyak tradisionalnya

Penyumbang 25% Minyak Dalam Negeri

Bojonegoro, kabupaten paling Barat Provinsi Jawa Timur memiliki banyak kilang minyak dan gas. Daerah ini termasuk penghasil minyak terbesar di Indonesia. Tak kurang dari 25% pasokan minyak bumi nasional, dikirim dari kilang minyak yang tersebar di Bojonegoro.

Saya ikut merasakan nikmatnya kucuran minyak ini. Bisa melewati jalan raya berupa beton cor antara Kecamatan Padangan sampai kota Bojonegoro yang lebar. Bisa berjajar sampai 5-6 mobil lebarnya. Termasuk saat melintasi daerah pedesaan dari Dander ke Nganjuk yang membelah bukit, hutan Jati, dan kebun penduduk.

Jalannya memang tidak terlalu lebar. Tapi mulus beraspal. Sebagian berupa beton cor yang kokoh. Tentunya semua itu dibangun dari APBD yang disumbang dari hasil penjualan minyak.

Jalan lebar mulus sumbangan dari minyak
Jalan lebar mulus sumbangan dari minyak

Tapi, itu tidak termasuk sumbangan dari kilang minyak Wonocolo, yang berlokasi di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan. Jangankan menyumbang untuk APBD, untuk mencukupi kebutuhan para penambang saja sudah kembang kempis.

"Di sini ada sekitar 200-an sumur minyak tradisional Mas. Ada yang warisan dari zaman Belanda. Ada pula yang galian baru," ungkap Ernawan asal Desa Wonocolo.

Kebetulan siang itu saya bertandang ke lokasi penyulingan milik Ernawan yang ada di sebuah punggung bukit. Lokasinya agak di pinggiran dari pusat sumur minyak tradisional Wonocolo.

Ernawan, tetap bertahan di tengah kesulitan
Ernawan, tetap bertahan di tengah kesulitan

" Tahun 2012-2013 itu puncak kejayaan kilang minyak Wonocolo ini. Banyak investor masuk. Sehingga banyak warga yang menggantungkan hidupnya di minyak ini. Namun, karena setiap hari diambil, lambat laun ya minyaknya berkurang. Produksinya terus menipis. Tahun 2017 kalau nggak salah, pemerintah Bojonegoro sudah melarang pengeboran sumur minyak baru," terang Ernawan.

Tungku penyulingan
Tungku penyulingan

Uap panas yang keluar dari tungku menjadi solar
Uap panas yang keluar dari tungku menjadi solar

 "Saat ini banyak anak muda Wonocolo yang sudah mencari pekerjaan lain. Tidak kerja di tambang tapi keluar dari desa. Kalau saya, mau cari kerja lain susah Mas. Sudah umur,' lanjut Ernawan. 

Bapak dua anak ini pun bercerita: "Hari ini kita mungkin bisa mengolah minyak jadi solar karena ada persediaan minyak mentahnya. Tapi besok, belum tentu bisa produksi karena bahan baku yang diolah belum tentu ada. Kalau nggak mengolah minyak, ya nganggur. Jadi buruh tani, daerah sini juga susah. Jarang ada sawah"

Sejarah

Pengeboran minyak Wonocolo dimulai tahun 1893 oleh Andrian M Stoop. Berlanjut setahun kemudian, Wonocolo termasuk Hargomulyo mulai menghasilkan minyak. Jumlahnya kala itu tak kurang dari 200 titik pengeboran.

Setelah dieksplolrasi besar-besaran, sekitar tahun 1929 produksi minyak Wonocolo menurun tajam. Dipandang sudah tidak menguntungkan, sumur minyak Wonocolo pun ditinggalkan oleh pengelolanya. 

Saat Jepang masuk Indonesia, kilang minyak Wonocolo tak banyak dilirik. Maka begitu Jepang kalah perang, sumur-sumur minyak pun jadi tak bertuan. Maka, rakyat sekitar secara diam-diam memanfaatkannya.

Awalnya, masyarakat Wonocolo menggunakan alat sederhana untuk menimba minyak dari dalam sumur. Untungnya, sumur minyak Wonocolo ini tak terlalu dalam.

Menurut Ernawan dan Suyono, kedalaman sumur minyak Wonocolo di kisaran 200-350 meter saja. Jadi menggunakan alat manual masih memungkinkan.

Rig dari besi
Rig dari besi

Menarik timba pipa besi dari sumur minyak menggunakan sling (kawat baja) (news.detik.com)
Menarik timba pipa besi dari sumur minyak menggunakan sling (kawat baja) (news.detik.com)

Mengolah "LANTUNG" 

Untuk mengambil minyak dari sumur-sumur minyak, masyarakat Wonocolo menggunakan alat dan cara tradisional. Mereka membangun rig-rig dari balok-balok kayu Jati dan sejenisnya. Semacam kerangka kayu (mirip tripod) untuk menggantungkan katrol. Terdiri 4 buah kayu seukuran paha manusia, yang ujung atasnya bertemu di satu titik.

Tapi ada pula yang menggunakan besi bekas untuk membangun rig. Di bawah ujung itulah digantungkan katrol pengerek yang dihubungkan dengan timba, berupa besi panjang yang nantinya akan dimasukkan ke perut bumi. Ujung atas timba besi panjang itu dihubungkan dengan kawat baja/ sling. Panjang sling antara 200-300 meter.

Dulu, untuk menarik timba pipa besi dari perut bumi digunakan tenaga manasia sebanyak 6-8 orang. Mereka secara bersama-sama harus berjalan jauh, naik turun sesuai kontur lahan dari titik lubang sumur, menarik sling (kawat baja) agar timba pipa besinya keluar. Pipa besi yang sudah berisi campuran minyak mentah, lumpur dan air begitu muncul di permukaan langsung dihentakkan sehingga ambyar ke sebuah kolam kecil. 

Sekarang setiap sumur minyak tidak menggunakan tenaga manusia untuk menarik timba. Beralih menggunakan mesin mobil/ truk yang sudah tak terpakai.

Dengan mesin-mesin itu pekerjaan menarik sling yang dulunya memerlukan 6-10 orang, sekarang cukup dikerjakan 2 orang. Satu sebagai operator mesin, lainnya menunggu di bibir lubang sumur untuk menghentakkan timba agar minyaknya tumpah ke kolam.. Lebih hemat tenaga dan bisa menambah bagi hasil.

Minyak mentah ini oleh masyarakat Wonocolo disebut Lantung. Setelah Lantung ini terkumpul cukup banyak dalam kolam penampungan, maka langkah pertama adalah memisahkan air, lumpur dan minyak. Caranya sangat sederhana.

Campuran minyak yang baru keluar dari sumur., dibiarkan mengalir ke sebuah area terbuka. Lalu diaduk-aduk sehingga terpisah antara minyak, air dan lumpur. Lumpur mengendap. Air posisinya di bawah minyak.

Maka, minyak mentah dialirkan ke area sebelahnya. Baru kemudian minyak mentah tersebut diambil dan dikumpulkan dalam wadah jurigen kemudian dikirim ke penyulingan. Istilahnya diciduki pakai alat sederhana....

Dari kegiatan penambangan yang sarat risiko ini, sebenarnya tak banyak yang bisa diharapkan. Suplai minyak demikian kecil. Risiko kebakaran ada di depan mata. Penggunaan solar juga memakan biaya. Tapi Ernawan serta Suyono tak punya pilihan lain.

"Penting ada sedikit uang untuk dibawa pulang, Mas. Buat beli beras!" timpal Suyono sambil tersenyum getir.

Operator mesin di sumur minyak Wonocolo
Operator mesin di sumur minyak Wonocolo

 

Tempat penyulingan minyak yang rawan terbakar
Tempat penyulingan minyak yang rawan terbakar

Teksas Wonocolo

O.. iya, sebagai areal pertambangan minyak, lokasi Wonocolo ini memang mirip seperti tempat penambangan minyak di Texas Amerika Serikat. Maka untuk menarik wisatawan, mereka menyebutnya kawasan bukit Wonocolo ini sebagai Teksas Wonocolo. Singkatan dari Tekad Selalu Aman dan Sejahtera.

Jadi, bukan TEXAS lho ya. Nah, bagaimana liputan wisatanya, tunggu artikel berikutnya, karena ini termasuk Wisata Migas pertama di Indonesia. 

Wisata migas yang digagas pemuda dan pemerintah Kabupaten Bojonegoro ini kelak diharapkan bisa terus menghidupi warga, saat minyak benar-benar menipis dari bumi Wonocolo. 

Baca

Mengintip Teksas Wonocolo, Destinasi Wisata Migas Terunik di Pulau Jawa

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun