Setelah dieksplolrasi besar-besaran, sekitar tahun 1929 produksi minyak Wonocolo menurun tajam. Dipandang sudah tidak menguntungkan, sumur minyak Wonocolo pun ditinggalkan oleh pengelolanya.Â
Saat Jepang masuk Indonesia, kilang minyak Wonocolo tak banyak dilirik. Maka begitu Jepang kalah perang, sumur-sumur minyak pun jadi tak bertuan. Maka, rakyat sekitar secara diam-diam memanfaatkannya.
Awalnya, masyarakat Wonocolo menggunakan alat sederhana untuk menimba minyak dari dalam sumur. Untungnya, sumur minyak Wonocolo ini tak terlalu dalam.
Menurut Ernawan dan Suyono, kedalaman sumur minyak Wonocolo di kisaran 200-350 meter saja. Jadi menggunakan alat manual masih memungkinkan.
Mengolah "LANTUNG"Â
Untuk mengambil minyak dari sumur-sumur minyak, masyarakat Wonocolo menggunakan alat dan cara tradisional. Mereka membangun rig-rig dari balok-balok kayu Jati dan sejenisnya. Semacam kerangka kayu (mirip tripod) untuk menggantungkan katrol. Terdiri 4 buah kayu seukuran paha manusia, yang ujung atasnya bertemu di satu titik.
Tapi ada pula yang menggunakan besi bekas untuk membangun rig. Di bawah ujung itulah digantungkan katrol pengerek yang dihubungkan dengan timba, berupa besi panjang yang nantinya akan dimasukkan ke perut bumi. Ujung atas timba besi panjang itu dihubungkan dengan kawat baja/ sling. Panjang sling antara 200-300 meter.
Dulu, untuk menarik timba pipa besi dari perut bumi digunakan tenaga manasia sebanyak 6-8 orang. Mereka secara bersama-sama harus berjalan jauh, naik turun sesuai kontur lahan dari titik lubang sumur, menarik sling (kawat baja) agar timba pipa besinya keluar. Pipa besi yang sudah berisi campuran minyak mentah, lumpur dan air begitu muncul di permukaan langsung dihentakkan sehingga ambyar ke sebuah kolam kecil.Â
Sekarang setiap sumur minyak tidak menggunakan tenaga manusia untuk menarik timba. Beralih menggunakan mesin mobil/ truk yang sudah tak terpakai.