Tapi, itu tidak termasuk sumbangan dari kilang minyak Wonocolo, yang berlokasi di Desa Wonocolo, Kecamatan Kedewan. Jangankan menyumbang untuk APBD, untuk mencukupi kebutuhan para penambang saja sudah kembang kempis.
"Di sini ada sekitar 200-an sumur minyak tradisional Mas. Ada yang warisan dari zaman Belanda. Ada pula yang galian baru," ungkap Ernawan asal Desa Wonocolo.
Kebetulan siang itu saya bertandang ke lokasi penyulingan milik Ernawan yang ada di sebuah punggung bukit. Lokasinya agak di pinggiran dari pusat sumur minyak tradisional Wonocolo.
" Tahun 2012-2013 itu puncak kejayaan kilang minyak Wonocolo ini. Banyak investor masuk. Sehingga banyak warga yang menggantungkan hidupnya di minyak ini. Namun, karena setiap hari diambil, lambat laun ya minyaknya berkurang. Produksinya terus menipis. Tahun 2017 kalau nggak salah, pemerintah Bojonegoro sudah melarang pengeboran sumur minyak baru," terang Ernawan.
 "Saat ini banyak anak muda Wonocolo yang sudah mencari pekerjaan lain. Tidak kerja di tambang tapi keluar dari desa. Kalau saya, mau cari kerja lain susah Mas. Sudah umur,' lanjut Ernawan.Â
Bapak dua anak ini pun bercerita: "Hari ini kita mungkin bisa mengolah minyak jadi solar karena ada persediaan minyak mentahnya. Tapi besok, belum tentu bisa produksi karena bahan baku yang diolah belum tentu ada. Kalau nggak mengolah minyak, ya nganggur. Jadi buruh tani, daerah sini juga susah. Jarang ada sawah"
Sejarah
Pengeboran minyak Wonocolo dimulai tahun 1893 oleh Andrian M Stoop. Berlanjut setahun kemudian, Wonocolo termasuk Hargomulyo mulai menghasilkan minyak. Jumlahnya kala itu tak kurang dari 200 titik pengeboran.