Ada 4 jaladwara (pancuran air) berbentuk padma kuncup yang masih mengalirkan air. Tentunya, sesuai dengan fungsinya, air yang keluar dari jaladwara adalah air suci. Digunakan untuk keperluan upacara agama.Â
Candi Gunung Kawi yang berjumlah lima.Â
Di ujung Utara teras pertama, saya menapaki gundukan tanah dan batu padas menuju teras kedua kompleks candi. Tiba di pelataran, tepat di sisi kiri ada ceruk lebar. Lalu di sebelahnya, memanjang dari Utara ke Selatan terpahat
Pahatan candi dengan ketinggian antara 7-8 meter ini memang sangat unik dan artistik. Sama seperti Candi Prasada Ukir di sisi Barat. Ornamen candi tebing (candi pahat) di sisi Timur ini juga menunjukan adanya bagian Kaki, Tubuh dan Atap candi.
Namun, selain pahatan candi, ada yang menarik perhatian saya. Dugaan saya, halaman teras kedua candi tebing ini kemungkinan dahulu adalah kolam Petirtaan. Buktinya, tepat di bawah pahatan candi, masih tersisa bekas pancuran/ jaladwara yang sudah tidak mengalirkan air. Artinya, bisa jadi teras kedua ini dulunya juga sebuah kolam yang dibuat tepat di bawah kaki candi?Â
Saya membayangkan, betapa indah dan eksotisnya karya leluhur Bali ini di masa lalu. Tentunya bangunan suci seperti ini dihasilkan dari titah seorang raja. Tak berlebihan kiranya jika lembah Sungai Pakerisan yang airnya berhulu di Gunung Agung -Mahamerunya Bali-disebut Valley of The King. Lembah para raja. Karena di tempat ini  terdapat bangunan suci sebagai tempat ibadah sekaligus pendharmaan bagi para leluhur raja Bali kuno.
Amarawati
Saya penasaran, siapa raja yang memerintahkan pembuatan kompleks Candi Tebing Gunung Kawi ini? Sambil berjalan pelan di bawah terik yang mulai menyengat, sambil sesekali mengamati deretan candi pahat dari ujung Utara sampai Selatan, saya menyempatkan googling sejenak. Hasilnya, candi ini ditemukan pertama kali tahun 1920 oleh H.T Damste. Dilanjutkan penelitian berikutnya oleh J.C. Krygsman tahun 1951.