Untuk mencapai kaki candi, tepat di tengah-tengah pelataran dan batur candi, dibangun tangga naik terbuat dari batu andesit untuk menuju ke deretan candi tebing.Â
Tinggalan arkeologis lain yang multitafsir dikalangan arkeolog adalah adanya ceruk-ceruk lebar di dekat pahatan candi. Para arkeolog memperkirakan bahwa ceruk-ceruk itu digunakan oleh para biarawan Budha untuk bertapa/ semedi.Â
Ada pula yang berpendapat itu adalah tempat tinggal para Kawi, pujangga kerajaan yang bertugas menjaga dan merawat kitab suci.
Saya sangat terkesan dengan imajinasi para pembangun candi yang memilih tempat ini untuk memahat candi. Tentunya, tidak sembarang tempat dipilih untuk membangun tempat suci dan tempat pemujaan untuk para leluhur.Â
Marakata yang kemudian diteruskan Anak Wungsu, sebagai adik Airlangga (putra tertua Udayana) memilih lokasi yang terdapat sungai dan sumber-sumber air untuk membangun tempat suci.Â
Air dalam ritual Hindu sangat erat kaitannya dengan amerta (air suci). Memilih tebing batu yang memiliki arah hadap ke Timur dan ke Barat, tentunya semua itu ada pertimbangan secara keagamaan.
Muncul beragam pertanyaan. Mengapa Marakata dan Anak Wungsu sebagai putra Udayana membangun candi dengan memahat tebing? Tidak menggunakan susunan batu andesit. Seperti Airlangga (saudaranya) yang hidup sezaman tapi di tanah Jawa, yang membangun Partirtan Jolotundo di lereng Barat Pawitra, Gunung Penanggungan memanfaatkan batu-batu gunung yang dibentuk persegi panjang. Lalu, di kompleks Candi Gunung Kawi ini, saya juga tidak menjumpai arca-arca perwujudan maupun arca dewa yang lazim dijumpai di candi-candi tanah Jawa.