Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Runtuhnya Aji Mumpung, Tumbuhnya Tepa Selira, Harga Pun Stabil

29 April 2020   23:56 Diperbarui: 30 April 2020   00:18 672
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi kaum hawa, harga adalah segalanya. Apalagi belanja dapur. Uang senilai 500 rupiah sangat berarti. Apalagi  jika selisihnya  sampai ribuan. Pastilah ibu-ibu ini akan melenggang mencari harga termurah.  "Eman-eman, bisa buat beli empon-empon dan cabe," begitu alasannya. Ya, masuk akal juga. Apalagi saat ini musim pandemi. Nah, untuk mencari harga termurah, tentunya harus ke pasar. Namun, rumus itu tak berlaku untuk keluarga kami. Bukan sok kaya. Tapi ada pertimbangan lain yang lebih masuk akal. Kami menerapkan prinsip: Tengok Tetangga! 

Tengok Tetangga

Pasar Tradisional sebenarnya tak jauh dari rumah. Jaraknya tak lebih dari 500 meter. Jalan kaki hanya 10 menit. Tapi, selama ini untuk memenuhi semua kebutuhan dapur, kami jarang ke pasar. Banyak pertimbangannya. Alasan utama adalah  tenggok tetangga. Maksudnya, semua kebutuhan dapur kami penuhi dengan belanja di tetangga. Beli apapun kebutuhan dapur dan rumah, semuanya di tetangga. Maka, ekonomi di kampung pun tetap berputar. Hanya kebutuhan tertentu yang harus beli ke pasar sendiri atau ke supermarket.

Alasan lain tidak ke pasar, ya... karena selama ini saat situasi normal, kami berangkat ke kantor pukul 06.00. Tidak ada waktu lagi ke pasar. Apalagi saat ini musim pandemi. Physical Distancing, jadi alasan kedua tidak ke pasar.   

Kebetulan, di dekat rumah ada 2  toko mracang. Hampir semua kebutuhan warga kampung ada di sana. Mulai bumbu dapur, minyak, gula, beras dan telor. Termasuk bahan bakar. Bahkan, kalau cari cemiti dan jarum jahit pun tersedia. Pokoknya lengkaplah.

Bagaimana dengan kebutuhan bahan mentah sayur dan lauk-pauk ? Tak beda dengan di tempat lain sebenarnya. Ada dua orang di kampung yang profesinya penjual sayur. Di tempat kami namanya Mlijo. Orang pertama namanya Pak Ruslan. Tiap hari, pukul 03,00 dinihari sudah ke pasar. Belanja sayur, tempe, ikan, bumbu dapur dan kebutuhan warga lainnya. 

Jika dirasa cukup, semua semua barang belanjaan ditata rapi di motornya agar tidak rusak. Pukul 05,30 sudah sampai di rumahnya. Istrinya sudah menunggu di depan rumah. Sebuah meja pendek yang panjang. Segera belanjaan ditata rapi di  depan rumahnya. Tak lama para tetangga pun berdatangan dengan sejuta pilihan masing-masing. 

Pak Sukir juga berprofesi hampir sama dengan pak Ruslan. Bedanya, pak Sukir menjajakan dagangannya keliling kampung. Jika di kampung sendiri belum habis akan bergeser ke kampung sebelah dengan motornya. Berkeliling sampai habis kulakannya (belanjaannya).

Dari toko tetangga dan Mlijo (penjual sayur) tetangga inilah, hampir semua kebutuhan dapur rumah kami terpenuhi selama ini. Tidak perlu berbecek-becek di dalam pasar. Tidak perlu bersinggungan dengan orang lain, karena ada himbauan jaga jarak. Bahkan, khusus keluarga saya, cukup pesan kebutuhan barangnya apa lewat Whatsapp. Maka besok pagi sayur mayur dan kebutuhan lainnya sudah nangkring di pagar. Uangnya, sudah kita letakkan di tempat biasanya. Tanpa ada tawar menawar. Tanpa saling menunggu.

Pandemi meruntuhkan Aji Mumpung

Menariknya, ternyata harga jual di toko tetangga dan penjual sayur keliling di kampung  ternyata tidak mahal-mahal amat. Buktinya, banyak warga kampung yang enjoy saja belanja di sana. Bukti kedua, toko dan Mlijo pun masih eksis dengan dagangannya tiap hari. Para pemilik toko dan mlijo mengambil selisih tidak terlalu besar dari harga pasar, ternyata. Penting lumintu (sedikit tapi terus), kata mereka.

Fenomena menarik sempat saya amati kala jelang puasa kemarin. Biasanya, saat akan selamatan Megengan (dalam adat orang Jawa, setiap muslim akan mengadakan kenduri sebelum puasa ramadhan), maka saat itu harga-harga pada melambung.  

Di tahun sebelumnya, harga kebutuhan pokok dan sayur serta lauk di pasar kacau balau. Terutama Daging Ayam, Daging Sapi dan Telor. Harganya ugal-ugalan. Banyak pedagang menerapkan aji mumpung. Ya, secara hukum ekonomi, jelang ramadhan akan banyak yang Selamatan. Pasti banyak yang belanja. Akan banyak  permintaan barang.  Di saat itulah, ada oknum yang bermain harga. 

Tapi fenomena melambungkan harga,  tak terjadi di Ramadhan kali ini.   Memang ada beberapa kebutuhan pokok seperti gula yang di atas HET pemerintah. Tapi itu mungkin ulah cukong atau spekulan yang sedang cari untung dengan jurus aji mumpung. 

Kami sangat bersyukur, ternyata munculnya pandemi ini menumbuhkan tepa selira. Saling mengerti antar sesama. Semua orang merasakan bahwa dampak pendemi akan menyusahkan banyak orang. Maka, ternyata dari kesadaran pribadi, semuanya berfikiran sama. 

Roda ekonomi harus tetap diputar. Yang berpenghasilan besar, menengah dan kecil harus tetap dapat membeli barang. Maka, suasana kampung pun tetap ayem tentrem saja, lantaran harga-harga masih dalam batas kewajaran.

Pandemi Covid-19 ternyata meruntuhkan Aji Mupung dan menumbuhkan Tepa Selira. Di kampung kami....

Selamat menjalankan ibadah Puasa Ramadhan.....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun