Mohon tunggu...
Teguh Hariawan
Teguh Hariawan Mohon Tunggu... Guru - Traveller, Blusuker, Content Writer

Blusuker dan menulis yang di Blusuki. Content Writer. "Menyurat yang Silam, Menggurat yang Menjelang " : (Nancy K Florida)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pendidikan Ingin Maju? Cukup 10-20 Siswa per Kelas, Mas Nadiem

19 November 2019   14:31 Diperbarui: 19 November 2019   14:54 1320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Di berbagai kesempatan, Presiden Jokowi sudah sering menekankan betapa pentingnya pembenahan sistem pendidikan di negara kita ini. Pembenahan ini tidak lain agar dunia pendidikan mampu merespon perubahan dunia dengan cepat dan fleksibel serta adaptif. Kedua, diperlukan terobosan-terobosan infrastruktur dan kemajuan teknologi guna mendukung percepatan perubahan dan mendukung terobosan-terobosan itu. 

Mungkin, dengan kepiawaian Nadiem Anwar Makarim memanfaatkan  teknologi untuk menjadikan GOJEK sebagau unicorn ini yang membuat Jokowi kepincut dan menjadikannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Presiden Jokowi tentu sangat berharap, Nadiem mampu menerjemahkan harapan dan keinginan, serta Visi Pendidikan presiden tersebut.

Revolusi
Merevolusi sistem pendidikan di Indonesia tentu bukan hal yang mudah. Banyak komponen, kepentingan, kebutuhan, persoalan baik dalam skala makro dan mikro yang akan terdampak jika salah satu saja dirombak sistemnya.  

Maka, daripada rumit-rumit, kita bincangkan saja hal yang paling dasar dan utama dalam proses pendidikan yakni tentang bertemunya guru dan siswa di dalam kelas. 

Siapapun tak akan menyangkal, bahwa interaksi guru dan siswa adalah hal paling pokok dalam dunia pendidikan. Keberadaan guru di depan siswa siswinya  tak akan tergantikan oleh siapapun atau oleh apapun, termasuk oleh teknologi!

Pada saat guru bertemu siswa di kelas, apapun bisa kita bincangkan. Baik dari jenis kurikulumnya, metode pengajarannya, model pembelajarannya, buku sumbernya, alat pembelajarannya, desain pembelajarannya, proses belajarmya, proses  assesmentnya  sampai pada tindak lanjut. 

Artinya, pertemuan guru dan siswa di kelas (kadangpun bisa di luar kelas) adalah puncak dari segala hal yang ada di sistem pendidikan itu sendiri yang akhirnya mengarah pada hasil akhir aktifitas sebuah proses pendidikan. 

Pertanyaannya: Apakah setelah belajar (di kelas) siswa meningkat kompetensinya? Silahkan dengan dijawab sesuai kondisi pendidikan kita saat ini.

Kita sering abai, jarang memperhatikan, berapa prosen materi ajar yang bisa diterima siswa saat belajar di kelas dari proses pembelajaran hari itu? Atau pertanyaan fundamental lainnya, berapa jumlah siswa yang ideal dalam proses pembelajaran sehingga guru bisa mentransformasikan karakter, sikap dan ilmu pengetahuan serta skills kepada siswanya?

Maka, menurut saya, salah satu persoalan pertama yang harus diputuskan Mas Menteri Nadiem Makarim saat akan melakukan pembenahan sistem Pendidikan Nasional adalah menentukan dulu: Berapa jumlah ideal siswa di dalam kelas? Sederhana bukan! 

Tapi implikasi dari menentukan jumlah siswa ini akan berdampak luar biasa. Baik terhadap kurikulum, infrastruktur pendidikan , nasib  guru (sertifikasi), kebijakan linearitas, kebijakan zonasi, moratorium CPNS guru  dan terhadap kualitas hasil proses pendidikan itu sendiri.

Locastro
Semua insan pendidikan tahu bahwa di Indonesia, jumlah siswa per kelas sudah diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud). Saya tak akan mengusik itu. Saya hanya menyampaikan, ketika saya menulis di google: Berapa jumlah siswa ideal di kelas? Maka seabreg jawaban pun muncul. 

Beberapa jawaban yang muncul berdasarkan pengalaman menjadi guru, menyarankan jumlah ideal siswa dalam satu kelas adalah antara 20-30 anak. Ada yang menyarankan tak lebih dari 20 anak. Jawaban itu memang tidak bisa digebyah uyah.  Ini tergantung dari mata pelajaran yang sedang diajarkan. Termasuk usia berapa anak yang sedang belajar.

Paling menarik adalah laporan penelitian Virginia Locastro (1989): Large Size Classes: The Situasion in Japan (Large Size Classes: The Situation in Japan. Lancaster-Leeds Language Learning in Large Classes Research Project Report No. 5.) yang menyimpulkan, kelas ideal itu jika kelas hanya diisi antara 10-20 anak saja. Jika jumlah siswa satu kelas sudah mencapai 39 anak, maka sudah mulai muncul masalah dan ketimpangan. Jika sudah membengkak jadi 51 anak, mustahil proses pembelajaran akan dapat dilakukan, begitu kesimpulan Locastro.

Berkaca dan membandingkan hasil penelitian Locastro dengan kondisi kelas-kelas di Indonesia sebenarnya tak jauh beda. Maksudnya, kita pada posisi dimana pembelajaran sudah menjurus pada ketimpangan dan ketidakstabilan lantaran jumlah siswa yang ditetapkan dalam Permendikbud minimal 20 siswa dan maksimal adalah 36 siswa (untuk siswa sekolah menengah). 

Betapa tidak, sangat jarang jarang dijumpai sekolah-sekolah (favorit) yang jumlah siswa per kelasnya tidak mencapai 36 anak, kecuali sekolah-sekolah yang memang kekurangan murid. Bahkan kalau bisa, ambil kuota sebanyak-banyaknya, asal tidak melanggar regulasi yang ada. Berapa ....? Satu kelas isinya 36 anak. Jumlah kelas seluruhnya 36 kelas. Total siswa ya 1000 lebih.

Hemat saya, Mas Menteri Nadiem Makarim patut melihat masalah jumlah siswa dalam satu kelas ini sebagai salah satu persoalan pokok yang harus segera dituntaskan dan diprioritaskan. Anjuran Locastro dan banyak guru (yang netral dalam beropini)  maksimal adalah 20 anak per kelas. Bukan minimal 20 anak per kelas. 

Finlandia, sebagai negera yang paling maju pendidikannya, mempunyai jumlah penduduk yang nggak terlalu banyak. Bisa diprediksi, jumlah siswa siswa perkelas pasti sedikit. Hasilnya, kualitas pendidikannya ...luar biasa!

Dampak
Walau hanya sekedar mengatur jumlah siswa dalam satu kelas, ternyata dampak ikutannya luar biasa. Mari kita lihat. Secara kasat mata, pembelajaran dalam kelas kecil, akan sangat ideal dalam proses pembelajaran. Guru akan lebih leluasa menjadi dirigen dalam kelas. Lebih mudah membimbing siswa. Lebih mudah memantau siswa dan seterusnya dan seterusnya. Saya yakin, hasil akhir proses pembelajaran juga akan meningkat dalam skala nasional. Inilah yang diharapkan dari pembenahan sistem pendidikan nasional.

Dampak ikutan lainnya, jika dalam satu kelas dibatasi maksimal 20 siswa. Mungkin lebih longgar jadi 25 siswa per kelas. Maka otomatis jumlah kelas akan bertambah. Mulanya (jika diambil maksimal per tingkat 12 rombongan belajar) hanya 36 kelas, maka akan jadi 64 kelas! Wow... tambah RKB (Ruang Kelas Baru) dong! Ya...... tentu saja tidak. 

Anjuran Pak Presiden, Rehabilitasi  Ruang Belajar yang lebih penting. Bukan nambah jumlah kelas baru. Lalu, solusinya bagaimana?...... Ya, jumlah siswa (baru) yang akan masuk ke sekolah (negeri dan swasta besar/ favorit) dibatasi.  Maksimal antara 250-300. Tidak seperti saat ini, sekolah-sekolah favorit mengambil batas maksimal. Rata-rata  lebih dari 400 siswa dalam setiap PPDB.  

Guru Profesional
Pembatasan jumlah siswa ini jelas tidak akan merugikan guru  dengan alasan kekurangan jam belajar. Guru tetap akan terpenuhi syarat sertifikasinya. Bahkan dengan  small class ini, guru-guru yang sudah memperoleh tunjangan sertifikasi antara 1,5juta rupiah sampai 4 juta rupiah per bulan ini, ditantang untuk mengembangkan Kegiatan Belajar Mengajarnya (KBM) agar lebih inovatif dan kreatif,  agar benar-benar jadi guru yang profesional. 

Selain itu, dengan pembatasan kuota jumlah siswa ini, maka akan terjadi efek domino pemerataan pendidikan. Sekolah-sekolah swasta yang selama ini menjerit kekurangan murid akan bisa bernafas lega. Kelas-kelas kosongnya akan terisi kembali. Jika mereka menerima jumlah siswa lebih, silakan saja,  asal jumlah siswa per kelas maksimal 20-25. Jika kekurangan ruang kelas, silahkan membangun Ruang Kelas Baru. Syaratnya, dengan biaya sendiri. Pemerintah hanya membantu rehabilitasi ruang belajar. Tidak pilih kasih baik itu negeri atau swasta.  

Dampak ikutan lainnya, bagi guru-guru (negeri dan swasta sertifikasi) yang kekurangan jam, secara bertahap akan tercukupi kebutuhannya seiring dengan bertambahnya jumlah jam yang disyaratkan sebagai beban kerja minimalnya sebagai seorang guru. 

Tidak perlu lagi guru-guru lari ke sana kemari sekedar memenuhi kewajiban jumlah jamnya yang kurang sehingga kuatir gagal memperoleh tunjangan sertifikasi. Guru akan tenang dan lebih konsen dalam mendidik dan mengajar siswanya karena kebutuhannya sudah terpenuhi.

Memang, kualitas pendidikan antara sekolah satu dengan yang lain berbeda-beda. Itu jadi tanggung jawab semua stake holder, terutama pemerintah untuk menjadikan semua sekolah di negeri ini memiliki  kualitas output yang sama. 

Mewujudkannya tentu tidak mudah. Paling tidak, 100 hari sejak dilantik oleh presiden, Mas Menteri Nadiem sudah banyak memperoleh banyak informasi, masukan. kritikan yang tentunya akan beliau ramu jadi resep jitu membenahi sistem pendidikan di tanah air. Selamat bekerja Mas Menteri.......

ECOMSTER, Gagasan Awal Nadiem Makarim dalam Merevolusi Pendidikan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun