Pagi, pukul 06.30 bel sekolah belum berbunyi. Matahari belum tinggi. Lalu lintas di jalan raya depan sekolah mulai menggeliat. Tiba-tiba saja, dua truk minggir ke bahu jalan. Keluar dari jalan raya lalu berhenti tak jauh dari gerbang sekolah.
Saya dan guru-guru yang piket 5S (Senyum, Salam, Salim, Santun, Sukses) di depan gerbang sekolah, awalnya menganggap itu hal biasa. Namun, beberapa menit kemudian beberapa anak laki-laki paro baya berloncatan dari atas truk.
Satu demi satu mereka menurunkan muatan. Lalu tiap orang membawa dan mengusung satu muatan . Sebagian menyebar sepanjang jalan. Lainnya menyeberang jalan.
Ketika saya dekati, ternyata Dhadak Merak Reog. Ya, pagi itu ada puluhan Reog diletakkan di trotoar. Berjajar di pinggir jalan dekat sekolah. Iseng-iseng saya mendekat. "Mau main di mana Mas?" tanya saya pada salah satu pembawa Reog. " Nanti siang jam 1 di Lapangan Kelurahan Prigen, Pak," jawab pemuda yang belakangan saya tahu namanya Irwan. "Nanti akan tampil Parade Reog dan Ganongan" jelas Irwan.Â
"Gratis apa bayar Mas?"
"Anak-anak 8 ribu. Kalau dewasa 10 ribu, Pak?" terang Irwan.
Oooo, ternyata rombongan pemain Reog ini datang di Prigen bukan karena ada undangan even atau undangan instansi. Mereka datang karena ada kemauan sendiri. Karena untuk menonton ada tiket-nya, maka saya sebut saja Parade Reog sebagai salah satu aktifitas ngamen.
Ngamen adalah pekerjaan halal dan tidak melanggar hukum!. "Ini bukan semata-mata cari uang pak. Tapi juga untuk nguri-uri budaya," lanjut Irwan.
Penjelasan Mas Irwan ini saya amini dan sangat saya apresiasi. Nguri-uri Budaya (menjaga dan melestarikan budaya) adalah kata yang langka saat ini bagi sebagian anak muda.
Segera, saya ambil HP. Jepret sana-jepret sini. Tampilan Parade Reog ini haruslah sukses pikir saya. Kehadiran 20 Reog dari Ngawi, Ponorogo, Madiun dengan kekuatan personilnya 70 orang harus tersampaikan ke warga.
Maka pagi itu, saya segera share di facebook dan WAG. Siapa tahu bisa sedikit membantu promosi. Agar masyarakat Prigen dan sekitarnya siang nanti berbondong bondong menyaksikan seni tradisi khas Jawa Timur ini. Reog sebenarnya biasa. Tapi Parade 20 Reog dan Ganongan serta atraksi tambahannya akan jadi luar biasa.
Namun, di zaman milenial ini, seni tradisi khas Jawa Timur ini harus berhadapan dengan seni modern yang perkembangannya juga cukup pesat. Apalagi adanya gadget dan perangkat teknologi (digital) lainnya. Manusia tidak perlu keluar rumah (dan uang lebih) untuk mendapatkan hiburan atau menikmati seni.
Kehadiran Mas Irwan dengan rombongan Reog-nya ke Prigen pagi itu adalah luar biasa menurut saya. Di tengah himpitan munculnya seni-seni modern, Mas Irwan dan kawan-kawan tetap semangat melestarikan seni tradisi yang bagi beberapa anak zaman milenial kurang dikenal. Kalau tidak ada orang-orang seperti Mas Irwan, saya yakin, perlahan tapi pasti, seni-seni tradisi semacam ini akan layu dan mati.
SINGO BOLANG
"Kami sudah keliling Indonesia Pak," lanjut Mas Irwan yang saya taksir usianya belum genap 25 tahun. Dia bercerita, Grup Reog Singo Bolang pimpinan Pak Tri dari Madiun sudah 6 tahun melakukan aktivitas Nguri-uri budaya seperti ini. Hampir tiap hari selalu tampil di seluruh pelosok negeri. "Kita libur kalau Bulan Puasa dan Bulan Besar (Bulan dalam kalender Jawa) saja," ungkap Mas Irwan.Â
Cocok dengan aktifitas keseharian Grup Reog Ponorogo ini. Memang, ada dilema dalam pembuatan perangkat seni ini. Penggunaan Bulu Merak dan Kulit (Kepala Harimau), bagi saya juga cukup jadi tanda tanya. "Kalau kulit Kepala Harimau ini, selain dari dalam negeri kita impor pak," ungkap mas Irwan. Harganya sekitar 15 juta sampai 20 juta," Mas Irwan tiba-tiba menjawab rasa penasaran saya. "Itupun kita peroleh secara legal!"
"Kalau bulu meraknya sudah ada pemasok yang mengumpulkan dari penangkaran, Taman Safari dll," papar Irwan. Dari angka yang disebutkan tadi, saya jadi geleng-geleng kepala. Ternyata, tidak sekedar tenaga, keringat, waktu, dan pengorbanan lainnya. Butuh biaya besar juga ternyata untuk membuat Dhadak Merak ini. Memang saya lihat, tidak hanya Harimau Loreng tapi juga ada Harimau Putih yang digunakan untuk Topeng Reog nya.
Siang, pukul 13.00 Lapangan Kelurahan Prigen sudah dipenuhi warga. Mereka berbondong bondong ingin menyaksikan tampilan Parade Reog yang akan digelar.
Seakan tak mempedulikan panas yang masih menyengat dan lapangan yang agak berdebu. Dengan sabar masyarakat Prigen dan sekitarnya, yang kebanyakan sambil momong (mengasuh anak), menunggu atraksi dimulai. Ya, mengenalkan seni tradisi pada anak-anak usia dasar adalah penting bagi pelestarian budaya bangsa ini. Tak lama, rombongan pun datang.Â
Hokya.. hokya.. hokya... teriakan teriakan penuh semangat dari rombongan penari Reog menggetarkan sekitar lapangan. Dua Puluh Reog yang tadi pagi berjajar di trotoar sudah datang berombongan memasuki lapangan yang sudah tertutup terpal di sekelilingnya.
Atraksi pun dimulai. Diiringi musik khas yang rancak, Parade Reog Ponorogo menampilkan gerakan tarian mirip Singa dan Harimau. Kekuatan leher para pemain Reog tak perlu diragukan lagi.
Atraksi demi atraksi mengalir di tengah lapangan Kelurahan Prigen yang berdebu. Panas mentari tak menyurutkan penonton untuk terus bertahan di pinggir lapangan.
Mereka nampak menikmati tarian-tarian khas Reog Ponorogo. Tak ketinggalan, ditampilkan juga atraksi Ganongan. Yang bikin kuduk berdiri adalah atraksi makan paku.
Bagi sebagian orang, hal-hal semacam ini kadang dianggap mustahil. Bagi saya, hal seperti adalah kelebihan yang diberikan Allah pada manusia. Pemahaman ini sama rumitnya saat saya dihadapkan pada peristiwa fisika "Paradoks Kembar" dalam Teori Relativitas atau "teleportasi" yang memang tak kasat mata dan susah diterima logika.
Jangan kalau sudah diaku negeri Jiran kita baru sibuk "menyelamatkannya"
Hokya... hokya... hokya....Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H