Kitab Nagara Krtagama pernah menyinggungnya, sebagai satu candi yang disinggahi Prabu Hayam Wuruk saat perjalanan ke Candi Palah (Candi Penataran), Blitar. Tapi, lantaran lokasinya yang agak sulit dijangkau, akhirnya memupus dan memendam agak lama keinginan untuk mengunjunginya.Â
Namun,kesempatan akhirnya datang juga. Tanpa rencana dan tanpa sengaja! Akhirnya, saya sampai juga di Candi Gambar Wetan. Reruntuhannya masih tersisa. Kesepian di punggung bukit di tengah hutan.
Pagi itu, pukul 07.00, kami berangkat dari rumah mertua di Tulungrejo. Kandat, Â Kediri. Â Segera GPS saya nyalakan. Tujuan utama, Bukit Teletubies, yang masuk wilayah Kabupaten Blitar. Â Wow....., ternyata GPS menyajikan informasi kalau di sepanjang rute ada beberapa objek wisata Blitar yang lagi nge-hits.Â
Ada Wisata Kampung Indian dan  Kampung Anggrek yang letaknya tak begitu jauh dari jalan utama menuju Bukit Teletubies. Juga ada Kampung Korea yang mulai moncer.
Namun ada satu yang paling menarik perhatian saya dari sajian GPS, yakni Candi Gambar Wetan! Â Segera, saya buat skenario kunjungan. Skenario A, mengunjungi empat objek tersebut dalam sekali jalan. Skenario B, Â setelahnya saya akan melacak keberadaan Candi Gambar Wetan ini! Â
Tuntas menguras keringat setelah mendaki bukit, semua anggota keluarga istirahat di rest area Bukit Teletubies. Maka kesempatan pun tiba. Saya mencari tukang ojek yang lagi ngetem di rest area Bukit Teletubies. Mereka menunggu penumpang yang enggan jalan kaki naik Bukit Teletubies.
Siang itu pengunjung Bukit Teletubies begitu padat. Rezeki melimpah bagi para tukang ojek kampung yang piawai memacu motornya mendaki bukit.Â
Saya mendekati salah satu tukang ojek yang lagi mangkal. Saya tawari mereka tujuan yang mungkin tak pernah mereka duga.Â
"Bisa mengantar saya ke Candi Gambar Wetan, Pak?"
Tak perlu lama bernegoisasi. Disepakati, saya harus bayar Rp. 50,000. Harga ini lumayan mahal dibanding ngojek naik Bukit Teletubies. Tapi karena saya tidak tahu lokasinya, saya pun setuju saja. Deal, Pak Syukron pun menyalakan motornya.
Awalnya motor melaju cepat melalui jalan tanah yang cukup lebar memasuki  areal perkebunan.  Aneka tanaman holtikutura ada di area ini.Â
"Ini masuk area Perkebunan Gambar," kata Pak Syukron sambil memacu motornya. Cengkeh dan  Kopi saya jumpai di kanan kiri jalan. Saya jumpai penduduk kampung yang sedang mancari rumput yang tumbuh subur di sela-sela tanaman perkebunan. Di kejauhan nampak pula kebun Tebu yang sudah mendekati masa panen.
Tak sampai 10 menit, Pak  Syukron belok ke kanan. Motor melaju pelan. Memasuki jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau naik motor.Â
Karena beliau warga asli Desa Gambar, Kecamatan Nglegok tentu sudah hafal dengan tempat ini. Â Saya pun tak ragu diboncengnya walaupun motor berjalan di tepian jurang kecil.
Sebenarnya, saat di Bukit Teletubies tadi, saya sempat bertanya pada penjaga loket tentang lokasi  Candi Gambar Wetan. Katanya, lokasinya dekat  dari tempat parkir. Tapi saya sudah hafal dengan kata "dekat" bagi orang lokal, yang artinya "jauh" bagi pendatang seperti saya.  Maka, tak mau ambil resiko, saya cari saja Ojek Kampung yang hafal  jalan menuju lokasi candinya.
Ooo.. ternyata, pagar kawat ini yang membatasi area perkebunan dengan situs cagar budaya. Tempatnya asri dan sepi. Hanya suara burung hutan setia menemani.
Siang menjelang sore itu hanya saya dengan Pak Syukron di lokasi. Pintu masuk ke situs yang terbuat dari besi ringkih sudah terkunci. Pertanda sang juru kunci sudah pergi.Â
"Masuk saja lewat sini," kata Pak Syukron sambil menunjukkan pada saya celah pagar kawat berduri yang agak lebar. Saya agak ragu sebenarnya. Tapi beliau meyakinkan itu aman-aman saja. Toh, bukan untuk mencuri atau berbuat kriminal lainnya.
Di halaman pertama lokasi candi, ada beberapa artefak yang terpencar-pencar. Paling menarik di halaman pertama ini adalah sosok yang berdiri tegak di bawah naungan pohon besar. Saya dan Pak Syukron mendekatinya.Â
"Orang sini menyebut patung ini, Mbah Bodo," jelas pak Syukron. Patung/ arca yang dimaksud pak Syukron adalah Arca Dwarapala yang identik sebagai penjaga gerbang sebuah kompleks percandian. Wajahnya seram. Postur tubuhnya seperti raksasa atau monster. Ciri khasnya, arca ini selalu memegang Gada.Â
"Biasanya ada dua pak, patungnya? " tanya saya.Â
"Ya, satunya ada di pojok sana, dekat rerimbunan," terang pak Syukron sambil telunjuknya menunjuk rerimbunan di arah Timur.
Tepat di samping Arca Dwarapala, ada tangga naik yang tersusun dari batu-batu andesit. Saya jumpai lagi ada 2 Arca Dwarapala di teras kedua. Ukuran arcanya lebih kecil dari arca di teras/ halaman pertama.Â
Menariknya, di salah satu kaki Arca Dwarapala ini tertulis angka tahun 1360 Saka. Jika ditambah 78 tahun, menjadi 1438 Masehi.  Menandakan arca dan candinya  dibangun di masa Kerajaan Majapahit.
Temuan ArcaÂ
Saya jelajahi setiap sudut di teras ketiga. Ada bekas penggalian/ ekskavasi yang dilakukan oleh BPCB Jawa Timur. Dari singkapan tanah hasil penggalian itu muncul sosok Arca Dwarapala. Ini tentunya adalah sang penjaga gerbang di teras ketiga Candi Gambar Wetan.Â
Sosok Candi Gambar Wetan sendiri hanya menyisakan struktur berbentuk bujur sangkar berbahan batu andesit yang tersusun ala kadarnya. Bisa jadi itu adalah sisa reruntuhan dari candi utama. Bisa juga tidak. Dilihat dari sisa ornamennya, agaknya candi ini dulu sangat indah penampilannya. Pahatan ukirannya sangat detil dan rapi. Â Â
Menariknya, candi ini dibangun di puncak sebuah bukit kecil. Dibangun menyatu dengan alam sekitarnya. Serta memanfaatkan kontur tanah untuk mencapai maksud tujuan pembangunan candinya. View dari puncak bukit ini bikin mata segar saat memandang ke segala arah.
Tak heran, candi ini disebut pernah dikunjungi sang Prabu Hayam Wuruk saat jelajah menuju Candi Palah (Candi Penataran) di Blitar dalam rangka memuliakan keluarga yang telah membangun Majapahit di era sebelum dirinya. Â
Setelahnya, beliau mengantar saya kembali ke rest area, melewati  jalan berbatu di Perkebunan Gambar  diiringi bunyi Tonggeret yang menandakan sebentar lagi senja.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H