Tak perlu lama bernegoisasi. Disepakati, saya harus bayar Rp. 50,000. Harga ini lumayan mahal dibanding ngojek naik Bukit Teletubies. Tapi karena saya tidak tahu lokasinya, saya pun setuju saja. Deal, Pak Syukron pun menyalakan motornya.
Awalnya motor melaju cepat melalui jalan tanah yang cukup lebar memasuki  areal perkebunan.  Aneka tanaman holtikutura ada di area ini.Â
"Ini masuk area Perkebunan Gambar," kata Pak Syukron sambil memacu motornya. Cengkeh dan  Kopi saya jumpai di kanan kiri jalan. Saya jumpai penduduk kampung yang sedang mancari rumput yang tumbuh subur di sela-sela tanaman perkebunan. Di kejauhan nampak pula kebun Tebu yang sudah mendekati masa panen.
Tak sampai 10 menit, Pak  Syukron belok ke kanan. Motor melaju pelan. Memasuki jalan setapak yang hanya bisa dilalui dengan jalan kaki atau naik motor.Â
Karena beliau warga asli Desa Gambar, Kecamatan Nglegok tentu sudah hafal dengan tempat ini. Â Saya pun tak ragu diboncengnya walaupun motor berjalan di tepian jurang kecil.
Sebenarnya, saat di Bukit Teletubies tadi, saya sempat bertanya pada penjaga loket tentang lokasi  Candi Gambar Wetan. Katanya, lokasinya dekat  dari tempat parkir. Tapi saya sudah hafal dengan kata "dekat" bagi orang lokal, yang artinya "jauh" bagi pendatang seperti saya.  Maka, tak mau ambil resiko, saya cari saja Ojek Kampung yang hafal  jalan menuju lokasi candinya.
Ooo.. ternyata, pagar kawat ini yang membatasi area perkebunan dengan situs cagar budaya. Tempatnya asri dan sepi. Hanya suara burung hutan setia menemani.
Siang menjelang sore itu hanya saya dengan Pak Syukron di lokasi. Pintu masuk ke situs yang terbuat dari besi ringkih sudah terkunci. Pertanda sang juru kunci sudah pergi.Â
"Masuk saja lewat sini," kata Pak Syukron sambil menunjukkan pada saya celah pagar kawat berduri yang agak lebar. Saya agak ragu sebenarnya. Tapi beliau meyakinkan itu aman-aman saja. Toh, bukan untuk mencuri atau berbuat kriminal lainnya.