Goresan aksaranya tidak begitu jelas. Maka,  sesaat kemudian Mbah Sudi mengambil  gulungan plastik kresek dari dalam tas yang dibawanya. Saya perhatikan saja apa yang dilakukan pak dokter ini. Ternyata yang dikeluarkan adalah: sikat gigi dan satu plastik tepung kanji. Â
Setelah disikat berulang dan diguyur air, maka permukaan prasasti mulai bersih. Mulai tampak jelas huruf-hurufnya. Oooo, begini caranya memunculkan huruf-huruf di prasasti, pikir saya.Â
Segera saya ambil HP. Saya foto permukaan prasasti dari beberapa sisi, agar aksara-aksara kuno itu makin jelas terbaca. Tanpa menunggu lama, segera saya kirim message ke Mbah Goenawan Sambodo.Â
Pakar epigrafi dan baca tulis Aksara Jawa Kuno. Karena saya sendiri buta huruf Jawa Kuno, he he he he. Tidak pakai lama, beliau membalas. "Itu tahun 1128 Saka," saya baca pesan WA Mbah Goen. "Berarti sekitar Tahun 1206 Masehi. Sejaman dengan era Kediri" balas saya. Karena Tahun Saka harus ditambah 78 tahun agar jadi Tahun Masehi. "Kurang lebih begitu, " kata Mbah Goenawan. Prasasti mungil itu bertuliskan sebuah mantra, urai Mbah Goen. Saya sih percaya saja, lha wong memang gak bisa baca.
Begitulah, sore itu Komunitas Tapak Jejak Kerajaan dan Komunitas Jelajah Sejarah Budaya Pasuruan, kembali blusukan. Sedikit berbuat untuk nguri-uri (merawat, memelihara dan melestarikan) warisan yang tercerai berai dari masa lalu. Sing penting tandang, ora golek kondang, (yang penting kerja, dilakukan. Tidak mencari pencitraan atau ingin terkenal). Konon begitu motto komunitas sejarah.... ayo Blusukan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H