Selama perbedaan tersebut memiliki landasan yang kuat dan membawa kemaslahatan bagi umat, maka berbeda itu akan menjadi nikmat dan maslahat bagi umat.Â
Apalagi, Allah SWT menegaskan bahwa manusia tercipta dengan beragam bahasa, etnis dan suku dan bangsa-bangsa, tujuan utama saling mengenal.
Gus Dur telah memberikan contoh bagaimana mengelola sebuah perbedaan dengan syantik dan santui, bahwa kemaslahatan umat itu jauh lebih penting daripada kepentingan kelompok dan kekuasaan. Apalagi hanya kepentingan pribadi.
Gus Dur dilengserkan dari kursi Presiden. Saat itu Gus Dur memiliki kekuatan untuk melawan dan mempertahankannya, tetapi demi keutuhan bangsa, dan menghindari perpecahan dan pertumpahan darah sesama anak manusia, maka Gus Dur menerima dengan legowo.Â
Gus Dur-pun santui menghadapinya "Gitu aja kok repot". Sama persis dengan sikap Rasulullah SAW menerima perjanjian Khudaibiyah. Rasulullah SAW, mengalah demi sebuah kemaslahatan umat.
Santui dan Shantik Menanggapi "Natalan"
Ulama klasik sudah berbeda pendapat seputar perbedaan mengucapkan "Selamat Hari Natal" kepada orang Kristen yang sedang merayakan Natalan.Â
Secara tegas dan berani Al-Habib Ali Zainal Abidin Al-Jufri membolehkan mengucapkan "Selamat Hari Natal" kepada pemeluk agama Kristen.Â
Bahkan, Al-Habib Al-Jufri dengan kelebihan ilmu dan nasab, serta keluhuran akhlaknya, beliau mengatakan "Saya akan mengucapkan Selamat Hari Natal nanti pada tanggal 25 Desember".
PBNU, juga menyajikan literatur kitab klasik seputar larangan dan diperbolehkan mengucapkan "Selamat Hari Natal". Mulai nama kitab, hingga halamannya disebutkan dan disajikan dengan renyah, santu dan Shantik. Â
KH Ma'ruf Amin juga pernah menyampaikan  bolehnya mengucapkan "Selamat Hari Natal".Â
MUI Jatim, sedikit kaku ketika menanggapinya, sehingga terkesan sembarangan menanggapi KH Ma'ruf Amin. UIama Al-Azhar Al-Syarif berpendapat bahwa mengucapkan "Selamat Hari Natal" diperbolehkan.