Tiba-tiba Bahrul Munir bercerita bahwa dirinya pernah mijeti (memijat) Mbah Maimun Zubair waktu di Rubath Jawa (tempat berkumpulnya santri-santri Nusantara di Makkah). Merupakan sebuah kenikmatan sekaligus kebanggaan tersendiri ketika seorang santri mendapatkan kehormatan bisa mijeti Guru dan Kyainya.
Saat asyik mijeti Mbah Maemun Zubair, tiba-tiba Bahrul Munir mbatin (terbesit dalam hatinya) tentang Gus Dur (KH Abdurahman Wahid). Tiba-tiba Mbah Maimun Zubair langsung berkata, "Aku ngak wani dengan Gus Dur karena beliau itu titisane Mbah Muhammad Hasyim Asy'ary." Artinya "saya tidak berani sama sekali kepada Gus Dur, karena beliau itu titisan dari KH Hasyim Asaary".
Betapa kaget dan terperanjatnya Bahrul Munir terhadap apa yang disampaikan oleh seorang ulama, faqih, muhaddis yang bernama Mbah Maimun Zubair.
 Usai mendengar pernyataan tersebut, Bahrul Munir mbatin tentang Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Tiba-tiba Mbah Maimun Zubair berkata, "Nek Sayyid Muhammad iku punjere Sayyid", yang artinya Sayyid Muhammad itu pusat (rujukan utama) Sayyid.
Terbukti, ketika Gus Dur wafat, Mbah Maemun sendiri yang yang hadis dan mentalkin. Juga, menjadi rujukan para ulama dan Kyai Nusantara. Hingga sekarang, makam KH Abdurahman Wahid benar-banar memebrikan berkah tersendiri bagi masyarakat setempat. Bisa dikatakan KH Abdurhaman Wahid menjadi Sunan Tebu Ireng. Setiap bulan, kotak amal yang dihasilkan mencapai ratusan juta.
Dan Sayyid Muhamamd Alawi Al-Maliki Makkah menjadi rujukan para ulama dan Kyai Nusantara, juga habaib dari penjuru dunia. Tidak santupun Kyai, kecualo kagum keteladanan dan kebesara, keberanian Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki di dalam menkaga Akidah Ahlussunah Waljamaah. Kedalamam ilmu, keluhuran budi pekerta, serta kedermawanan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki hingga sekarang belum tertandingi.
Ketika mendengar apa yang disampaikan oleh Mbah Maimun, Bahrul Munir-pun berkata dalam hatinya "Mbah Maemun itu bukanlah ulama' sembarangan". Bisa jadi beliau seorang waliyullah.
Aku-pun mengatakan hal yang sama, "Mbah Maimun itu terlalu dalam ilmu dan spritualnya, dan juga keluhuran budi pekertinya sehingga bukan seperti asatidz pada umumnya yang suka mengumbar kata-kata tidak pantas terhadap sesama. Mbah Maimun itu seorang ulama sejati yang derajatnya sangat istimewa.
Beliau juga selalu hadir saat tahlilan dan khoulnya KH Abdurahman Wahid. Seolah-olah Mbah Maimun Zubair ingin berkata kepada orang-orang yang dengan mudah mengeluarkan kata "sesat" atau "kafir" terhadap Gus Dur, bahwa Gus Dur itu tidak seperti yang dikira mereka.
Bahwasanya kehadiran Mbah Maimun Zubair itu menjawab bahwa Gus Dur itu bukanlah seperti yang dikira oleh sebagian orang yang suka "menyesatkan". Sejak Mbah  Maimun Zubair selalu hadir pada setiap tahlilan Gus Dur, orang-orang yang sok suci, menganggab Gus Dur sesat itu ahirnya semakin terbuka, walaupun kebencian terhadap Gus Dur itu masih ada. Itu masih wajar-wajar sajalah.
Pada Muktamar NU Jombang ke 33, saya sengaja hadir untuk bersilaturami dengan teman dan para ulama yang rawuh pada Muktamar. Salah satu keinginanku ialah bertemu, dan menyalami kemudian mencium tangan Mbah Maimun Zubair. Namun, ternyata belum berhasil, karena banyaknya orang yang rebutan.