Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Firanda Berulah, Masyarakat Aceh Marah

20 Juni 2019   15:47 Diperbarui: 20 Juni 2019   15:56 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saat ini Firanda itu menjadi panutan bagi kelompok milenial awam, khususnya pengaggum wahabi salafi. Firanda salah satu lulusan Islamic University Madinah. Ketenaran Firanda semakin mendapat perhatian seriusd ketika diberikan panggung engan mengajar di Madjid Nabawi. Sudah pasti tujuan utamanya adalah kaum awam yang datang di ke Makkah untuk menunaikan ibadah haji dan umrah di Makkah, yang dilanjutkan di Madinah.

Jumlah jamaah haji dan umrah asal Indonesia sangat besar. Sudah pasti, mereka itu ziarah ke Madinah, karena ziarah ke Nabi Muhammad SAW itu merupakan sebuah keharusan bagi mereka. Pengajian berbahasa Indonesia yang menerangkan seputar akidah, amaliah, dan muamalah sangatlah penting bagi mereka. Halakah Taklim milik Firanda menjadi rujukan bagi jamaah haji dan umrah asal Indonesia.  

Bagi orang awam pengajian yang di asuh oleh Firanda di Masjid Nabawi merupakan sebuah prestasi tertinggi, sekaligus menjadi hujjah (argumentasi) bahwa Firanda adalah tokoh hebat yang mewakili Indonesia. Apalagi, di Indonesia juga diberikan panggung, dengan mengajar di berbagai kajian islam, mulai masjid dan kampus. Bagi pengikut wahabi salafi Nusantara, apa yang disampaikan oleh Firanda merupakan fatwa yang harus di taati.

Sedangkan bagi santri Nusantara yang pernah belajar di berbagai pesantren, seperti An-Anwar Sarang, Lirboyo, Langitan, Pasuruan, apa yang disamapikan oleh Firanda dalam pengajian di Masjid Nabawi, bukanlah sebuah prestasi yang membanggakan. Bagi mereka, itu biasa-biasa saja.

Karena para santri itu sudah memiliki dasar agama yang mumpuni. Santri santri Nusantara, bukan saja Hafal Alquran dan kandunganya, mereka juga diajari bagaimana memahami teks dan konteks Alquran dan hadis Rasulullah SAW, sebagaimana pemahaman para ulama terdahulu.

Bahkan, santri di Nusantara juga harus itu hafal-hafal dasar-dasar ilmu agama (Usuluddin), juga harus faham kaidah bahasa Arab dengan baik dan benar, seperti; nadzam Alfiyah Ibn Malik, Imriti, dan Jurumiyah. Santri-santi juga diajari memahami ilmu balaghah, tafsir, ulumul quran, juga ilmu tentang hadis Rasulullah SAW serta asbabul wurud.

Ketika menyaksikan materi pengajian dan ceramah di Masjid Nabawi yang disampaikan oleh Firanda, santri Nusantara tidaklah heran, juga tidak kagum. Wong santri-santri sudah biasa hafalan, juga bisa berdebat melalui (bahsu Al-Masail) dalam masalah akidah, fikih, dan juga masalah muamalah lainnya. Perbedaan dalam bermadzhab (masalah furuiyah) bagi santri merupakan sebuah keniscayaan. Itu sudah terjadi sejak ber-abad-abad, hingga sekarang.

Nah, kali ini Firanda mengacak-acak masalah furuiyah yang selama ini berlalu di Indonesia. Kehadiran Firanda di tanah air Indonesia, bukannya membuat Indonesia teduh malah membuat gaduh, khususnya di Aceh. Tahlilan mendoakan orang yang sudah wafat sudah di laksanakan sejak berabad-abad, begitu juga dengan merayakan maulid Nabi Muhammad SAW. Semua ada dalilnya.

Wajar saja, jika kemudian warga Aceh menolak dan kemudian mengusirnya. Dulu, ada sosok Wahabi yang bernama Khalid Basalamah berkata "Tsunami Aceh karena dosa Masyarakat Aceh". Karena menyudutkan masyarakat Aceh, akhirnya terpaksa meminta maaf.  Tuduh menuduh sesat, kafir dan masuk neraka merupakan salah satu ciri khas wahabi salafi. 

Sudah maklum di dunia, bahwa Indonesia itu salah satu negara paling besar dari segi penganut agama islam. Jumlah masjid juga paling banyak, ada sekitar 850 ribu. Ketika Jusuf Kalla di tanya oleh Raja Salman "ada berapa jumlah masjid di Indonesia? Yusuf Kalla menjawab "ada sekitar 850 ribu".

Mendengar jawaban itu, barulah Raja Salman mangut-mangut keheranan dengan jumlah yang fantastis. Belum lagi, data masjid dan Musolla yang berada di pedesaan yang jumlahnya sangat besar. Bisa-bisa, total masjid dan musolla di seluruuh Indonesia mendekati angka 2 juta. Menariknya, semuanya digunkan sholat berjamaah.

Lebih asyik lagi, ternyata dari sekian banyak masjid dan musolla yang menyebar di seluruh pelosok Nusantara, ternyata digunakan wiridan keras setelah sholat lima waktu, juga sholawatan, serta  tahlilan rutin setiap jumat, istighosah, dan juga manakiban. Karena mayoritas umat islam di Indonesia itu penganut akidah Al-Asaary, dan madzab Imam Al-Syafii, dan sebagian lagi penganut thariqoh (tasawuf).

Amalan-amalan di atas, sebenarnya telah dijelaskan secara tuntas oleh Syekh Abdul Khamid Ali Kudus Semarang di dalam kitab "Kanju Al-Najah" dan "Al-Dhakoir Al-Qudisiyah fi Risalati Khoiril Barriyah". Perlu diketahui, Syekh Abdul Hamid Ali Kudus itu satu Imam dan Khatib di Masjidil Haram. Juga mengajar di Masjidilharam.

Kalau pingin tahu lebih banyak tentang Syekh Abdul Hamid Ali Kudus, bisa pergi dan masuk ke Maktabah Makkah Al-Mukarramah. Semua karya-karya beliau dan ulama Nusantara tersimpan rapi, sebut saja Syekh Mahfud Al-Turmusi, Syekh Muhamamd Yasin Al-Fadani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Uhid Al-Bukhuri, Syekh Atorid Al-Betawi, Syekh Zakaria Bila.

Ketika memasuki di Maktabah Makkah Al-Mukarramah yang terletak di samping Masjidil Haram, akan melihat tulisan "Maktabah Syekh Abdul Hamid Ali Qudus". Ulama-ulama di atas merupakan ulama Nusantara yang pernah menjadi Imam dan pengajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.  Juga, tidak akan sebanding jika disandingkan dengan "Firanda", baik ilmu dan peranginya, walaupun Firanda seorang doktor.

Ulama-ulama di atas, sangat dalam ilmunya, sehingga tidak grusah-grusuh, seperti Firanda. Sebut saja, masalah khilafiyah seputar "posisi ibunda Rasulullah SAW", di surga atau neraka. Ulama di atas, sangat hati-hati, sehingga tidak ada yang berpendapat terang-terangan bahwa ibunda Rasulullah SAW itu masuk neraka. Sementara Firanda terang-terangan berpendapat "Ibunda Rasulullah SAW masuk neraka".

Sebenarnya, kehadiran Firanda di kancah dakwah Indonesia telah meresahkan banyak kalangan Islam. Sehingga sering mendapat penolakan dimana-mana. Bahkan, tersebar berita sejak (th 2015) ke seluruh Nusantara bahwa Wahabisme di Aceh telah dilarang, bahkan ulama dan masyarakat islam bersatu padu menyuarakan untuk mengusir faham Wahabi dari negeri Serambi Makkah.

Tidaklah berlebihan, jika dunia ketakutan dengan adanya Wahabi Salafi. Dakwah wahabi itu tidak membawa ketenangan, justru menimbulkan kekecauan terhadap kesatuan dan keutuhan umat Islam sendiri. Itu sangat membayakan persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Padahal, mestinya islam itu membawa kedamaian, bukan membawa permusuhan sesama penganut islam.

Amalan-amalan masyarakat Aceh dan Nusantara, seperti; sholawatan, dzikir berjamaah yang dipandang sunnah oleh ulama-ulama Salafussolih, justru disesatkan (bidahkan). Bahkan, pemahaman bidah secara sempit, sehingga orang yang ikut sholawatan itu dianggab tersesat dan "Masuk Neraka". Berbeda pendapat itu sudah biasa bagi ulama, namun ketika menjustifikasi "masuk neraka" berarti seolah-olah mengeluarkan umat islam Nusantara dari islam.

Wajarlah, jika puluhan, bahkan ratusan ribu masyarakat Aceh itu melakukan pawai besar-besaran menyuarakan anti Wahabi. Solidaritas masyarakat dan warga Ahlussunah Waljamaah Nusantara di Aceh menjadi contoh nyata, bahwa Islam yang berkembang di Negeri Nusantara bukanlah islam "Wahabi" yang selama ini meresahkan masyarakat dunia dan Indonesia. Tidak aneh pula, jika sebagian terorisme itu akibat pemahaman agama yang sempit.

Saat ini, Firanda benar-benar mendapat perlawanan yang setimpal dari masyarakat Aceh dengan "pengusiran". Masyarakat Jawa kadang masih toleran, dengan alasan "beda pendapat bagi para ulama dalam beragama itu sudah biasa". Paling-paling, masyarakat muslim Jawa, tidak mau ikutan kajian Firanda.

Saat ini masyarakat Aceh telah mengawali, maka semua masyarakat muslim yang suka wiridan, manakiban, istighosah, dan juga tawasul, membaca diba, membaca dalail khairat, dimana saja berada, baik di Aceh, atau di belahan Nusantara merasa resah dengan sikap-sikap Wahabi Salafisme. Silahkan mengamlakan keyakinannya, tanpa harus menyesatkan sesama muslim yang bersahadat.

Mengenang Perjuangan Sayyid Muhammad

Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki pernah mendapat teror habis-habisan dari ulam Arab Saudi. Sampai-sampai, Sayyid Muhammad harus berhenti mengajar di Masjidilharam. Hampir semua tokoh wahabi, seperti Syekh Sulaiman Munik, Syekh Al-Bani, Syekh Jamil Zeno, menentang dan menyesatkan Sayyid Muhamamd Alawi.

Dalam sebuah catatan sejarah. Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki pernah di sidang di istana. Sayyid Muhammad datang seorang diri menghadapi puluhan ulama Wahabi Salafi di Arab Saudi. Namun, nyali Sayyid Muhammad begitu besar. Beliau datang dengan membawa kain kafan. Beliau siap mati di dalam memperjuangkan akidah Ahlussunah Waljamaah.

Ketika berada di hadapan Raja, dan puluhan ulama Arab Saudi. Sayyid Muhammad di tanya oleh sang Raja "Wahai sayyid, apa yang engkau bawa"? Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki menjawab dengan tegas "saya membawa kain kafanku, saya siap mati mempertahankan keyakinanku". Begitulah kira-kira jawaban Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki.

Rupanya, sang Raja justru memberikan tempat khusus di Al-Rusaifah Makkah yang saat ini digunkan pengajin rutin dengan santri-santrinya. Di tempat itulah Sayyid Muhammad mengembangkan dan mengajarkan akidah Aswaja Asaary kepada santri-santri yang berasal dari Nusantara dan Asia, Afrika.  Sebagian masyarakat Makkah dan Madinah yang sefaham dengan Sayyid Muhammad tetap belajar di Al-Rusaifah.

Hingga sekarang, Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki salah satu panutan ulama Nusantara yang bermukim di Makkah. Beliau salah satu murid dari Syekh Muhamamd Yasin Al-Fadani, dan Syekh Muhammad Yasin adalah santri dari Syekh Mahfuz Turmusi. Syekh Abdul Fattah menyebutkan dalam kitabnya seputar sanad keilmuan ulama Makkah.

Nah, tokoh-tokoh ulama Ahlussunah Waljamaah, baik asal Makkah maupun Nusantara di Makkah begitu banyak, seperti;  Syekh Yasin Al-Fadani, Syekh Nawawi Al-Bantani,  Syekh Abdul Hamid Ali Kudus, Sayyid Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki, Syekh Ismail Al-Yamani, Syekh Abdul Fattah Rowah, mereka merupakan guru dan panutan ulama Nusantara, mulai masalah akidah, madhabnya. Semua mengajarkan maulidan nabi Muhamamd SAW.

Jika salah satu dari mereka dilecehkan oleh seorang lak i-laki yang beranama "Firanda". Masak, seorang Firanda secara ujuk-ujuk menyesatkan dan menghina Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki syirik (menyekutukan Allah SWT), sebagimana dia fahami  di dalam buku "Al-Mafahim".

Dengan kata lain, Firanda telah menyesatkan ulama-ulama sebelum Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Karena sanad ilmu Sayyid Muhammad nyambung (muttasil) dengan guru-guru di atas. Siapa yang menyesatkan Sayyid Muhammad, berarti telah menyesatkan guru-gurunya, juga menyesatkan ulama Nusantara yang mengajarkan akidah Asaariyah kepada seluruh santri-santrinya. Betapa bahaya ajaran Firanda.

Firanda pernah mengatakan dalam sebuah kajiannya  "malaikat saja tidak bisa memiliki hak otonomi, apalagi Nabi Muhammad SAW. Dengan demikian, Sayyid Muhammad itu melakukan ke-Syirikan, seperti halnya Syiah". Jadi, sangatlah tepat jika kemudian masyarakat Aceh mengusir dari bumi Aceh.

Secara garis besar, NU tidak sepaham dengan Firanda, lebih-lebih santri-santri NU yang sebagian besar memang pernah nyantri di Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki. Santri NU, bukan saja menjadikan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki rujukan utama dalam masalah akidah, tetapi juga percaya bahwa Sayyid Muhammad itu merupakan durriyah Rasulullah SAW yang wajib dimuliakan. Wajar, jika santri-santri NU, melakukan pembelaan habis-habiskan kepada sang Guru, menyesatkan Sayyid Muhammad sama dengan menyesatkan Syekh Al-Turmusi yang menjadi guru utama KH Muhammad Hasyim Asaary.

Sampai kapan-pun, akidah salafi dan Asyaari itu tidak akan ketemu dengan "Asaary". Menariknya, pengikut akidah Asaary tidak pernah mengatakan "sesat" terhadap " teologi Ibnu Taimiyah". Karena menuduh sesat kepada sesama muslim berarti menyesatkan diri sendiri. Salah satu perkejaan yang paling disukai setan dan iblis adalah menyesatkan orang islam, dan setean itu paling benci terhadap persatukan dan kerukukan umat.

Saat ini sudah waktunya focus menantang gerakan wahabi di Indonesia, melalui artikel, video, menulis buku, bukan sibuk ngurusi dan mempersoalkan "Islam Nusantara" yang notabene adalah Ahlussunah Walajamaah, baik akidah (teologi) maupun madzhabnya. Sagu-satunya masyarakat yang paling gigih membela Durriyah Rasulullah SAW adalah Nahdatul Ulama. Bukan saja membela, mereka juga mengajarkan cinta kepada Durriyah Rasulullah SAW.

Tidak satu-pun Kyai di Nusantara yang ngaku Islam Nusantara, kecuali mencium tangan durriyah Rasulullah SAW. Lebih-lebih durriyah Rasulullah SAW itu sosok yang berilmu, sudah pasti mendapat perhatian yang sangat istimewa. Karena keyakinan Akidah Aswaja itu, memuliakan Durriyah Rasulullah SAW, sama dengan memuliakan Rasulullah SAW sendiri.

Selain akidah NU, melihat habaib sama dengan sesama (tidak istimewa). Karena mereka yakin, keturunan Rasulullah SAW itu sudah terputus. Rasulullah SAW tidak memiliki anak laki-laki. Secara garis keturunan sudah tidak ada. Sedangkan habib-habib yang ada di Indonesia itu hanyalah ngaku-ngaku sebagai durriyah Rasulullah SAW agar mendapatkan penghormatan.

KH Hasyim Memuliakan Habaib

Saat sowan ke Gus Qoyum (17/06/2019) saya berkunjung ke kediaman Gus Qoyyum yang merupakan ulama kharismatik Lasem. Beliau Dawuh "KH Hasyim Asaary itu kalau ngaji kitab Bukhori dan Muslim, para habaib berada di barisan depan, selanjutnya para pensarah". Lebih lanjut, beliau mengatakan "KH Hamid Pasuruan itu kalau ada seorang durriyah Rasulullah SAW, dimintanya menjadi imam sholat walaupun masih remaja, karena takdim kepada Rasulullah SAW".

Semua santri KH Hasyim bukan dari kalangan Nahdiyin, semua kalangan ngaji kepadanya, karena kedalaman intelektual, keluhuran budi pekerti dan spiritual bena- benar tidak tertandingi kala itu. Sehingga semua bisa menerimanya.

Abah Gus Qoyum salah satu santri yang sanadnya nyambung dengan Mbah Hasyim. Kitab-kitab hadis yang dimiliki Gus Qoyyum masih asli dari Mbah Hasyim Asaary. Itulah pentingnya sanad dalam keilmuaan. Mencium tangan Gus Qoyum itu sama dengan mencium tangan Mbah Hasyim Asaary yang merupakan santri dari Syekh Mahfudz Al-Turmusi.

Saat ini, sebagian dari para habaib dan kelompok tertentu habis-habisan menuduh Islam Nusantara sesat, sementara Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dan guru-guru para ulama Salafi Wahabi. Sementara Islam Nusantara mati-matian membela akidah (teologi Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki) sang pejuang Ahalussunah Waljamaah.

Nah, Firanda sekarang telah mendapat perlawanan, karena terang-terangan menyesatkan seorang Ulama' besar Makkah, sekaligus guru dari banyak ulama dan Kyai Indonesia.

Barangkali, tokoh-tokoh Aswaja dan santri-santri Nusantara, seperti saya sendiri yang pernah ngaji dan mencium tangan Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki akan tetap setia membela Sayyid Muhammad Alawi Al-Maliki dengan argumentasi, karena membela Sayyid Muhammad itu sama dengan membela guru-guru beliau yang sanad ilmunya nyambung (Muttasil).

Menyuarakan dan menyerukan Ahlussunah Waljamaah yang diajarkan Sayyid Muhammad merupakan bukti kesetiaan kepada para ulama Nusantara yang teologi nya Ahlussunah Waljamaah. Mereka adalah pejuang sejati menegakkan Ahlussunah Walajaah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun