Mohon tunggu...
Abdul Adzim Irsad
Abdul Adzim Irsad Mohon Tunggu... Dosen - Mengajar di Universitas Negeri Malang

Menulis itu menyenangkan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Firanda Berulah, Masyarakat Aceh Marah

20 Juni 2019   15:47 Diperbarui: 20 Juni 2019   15:56 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lebih asyik lagi, ternyata dari sekian banyak masjid dan musolla yang menyebar di seluruh pelosok Nusantara, ternyata digunakan wiridan keras setelah sholat lima waktu, juga sholawatan, serta  tahlilan rutin setiap jumat, istighosah, dan juga manakiban. Karena mayoritas umat islam di Indonesia itu penganut akidah Al-Asaary, dan madzab Imam Al-Syafii, dan sebagian lagi penganut thariqoh (tasawuf).

Amalan-amalan di atas, sebenarnya telah dijelaskan secara tuntas oleh Syekh Abdul Khamid Ali Kudus Semarang di dalam kitab "Kanju Al-Najah" dan "Al-Dhakoir Al-Qudisiyah fi Risalati Khoiril Barriyah". Perlu diketahui, Syekh Abdul Hamid Ali Kudus itu satu Imam dan Khatib di Masjidil Haram. Juga mengajar di Masjidilharam.

Kalau pingin tahu lebih banyak tentang Syekh Abdul Hamid Ali Kudus, bisa pergi dan masuk ke Maktabah Makkah Al-Mukarramah. Semua karya-karya beliau dan ulama Nusantara tersimpan rapi, sebut saja Syekh Mahfud Al-Turmusi, Syekh Muhamamd Yasin Al-Fadani, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Uhid Al-Bukhuri, Syekh Atorid Al-Betawi, Syekh Zakaria Bila.

Ketika memasuki di Maktabah Makkah Al-Mukarramah yang terletak di samping Masjidil Haram, akan melihat tulisan "Maktabah Syekh Abdul Hamid Ali Qudus". Ulama-ulama di atas merupakan ulama Nusantara yang pernah menjadi Imam dan pengajar di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi.  Juga, tidak akan sebanding jika disandingkan dengan "Firanda", baik ilmu dan peranginya, walaupun Firanda seorang doktor.

Ulama-ulama di atas, sangat dalam ilmunya, sehingga tidak grusah-grusuh, seperti Firanda. Sebut saja, masalah khilafiyah seputar "posisi ibunda Rasulullah SAW", di surga atau neraka. Ulama di atas, sangat hati-hati, sehingga tidak ada yang berpendapat terang-terangan bahwa ibunda Rasulullah SAW itu masuk neraka. Sementara Firanda terang-terangan berpendapat "Ibunda Rasulullah SAW masuk neraka".

Sebenarnya, kehadiran Firanda di kancah dakwah Indonesia telah meresahkan banyak kalangan Islam. Sehingga sering mendapat penolakan dimana-mana. Bahkan, tersebar berita sejak (th 2015) ke seluruh Nusantara bahwa Wahabisme di Aceh telah dilarang, bahkan ulama dan masyarakat islam bersatu padu menyuarakan untuk mengusir faham Wahabi dari negeri Serambi Makkah.

Tidaklah berlebihan, jika dunia ketakutan dengan adanya Wahabi Salafi. Dakwah wahabi itu tidak membawa ketenangan, justru menimbulkan kekecauan terhadap kesatuan dan keutuhan umat Islam sendiri. Itu sangat membayakan persatuan dan kesatuan negara Indonesia. Padahal, mestinya islam itu membawa kedamaian, bukan membawa permusuhan sesama penganut islam.

Amalan-amalan masyarakat Aceh dan Nusantara, seperti; sholawatan, dzikir berjamaah yang dipandang sunnah oleh ulama-ulama Salafussolih, justru disesatkan (bidahkan). Bahkan, pemahaman bidah secara sempit, sehingga orang yang ikut sholawatan itu dianggab tersesat dan "Masuk Neraka". Berbeda pendapat itu sudah biasa bagi ulama, namun ketika menjustifikasi "masuk neraka" berarti seolah-olah mengeluarkan umat islam Nusantara dari islam.

Wajarlah, jika puluhan, bahkan ratusan ribu masyarakat Aceh itu melakukan pawai besar-besaran menyuarakan anti Wahabi. Solidaritas masyarakat dan warga Ahlussunah Waljamaah Nusantara di Aceh menjadi contoh nyata, bahwa Islam yang berkembang di Negeri Nusantara bukanlah islam "Wahabi" yang selama ini meresahkan masyarakat dunia dan Indonesia. Tidak aneh pula, jika sebagian terorisme itu akibat pemahaman agama yang sempit.

Saat ini, Firanda benar-benar mendapat perlawanan yang setimpal dari masyarakat Aceh dengan "pengusiran". Masyarakat Jawa kadang masih toleran, dengan alasan "beda pendapat bagi para ulama dalam beragama itu sudah biasa". Paling-paling, masyarakat muslim Jawa, tidak mau ikutan kajian Firanda.

Saat ini masyarakat Aceh telah mengawali, maka semua masyarakat muslim yang suka wiridan, manakiban, istighosah, dan juga tawasul, membaca diba, membaca dalail khairat, dimana saja berada, baik di Aceh, atau di belahan Nusantara merasa resah dengan sikap-sikap Wahabi Salafisme. Silahkan mengamlakan keyakinannya, tanpa harus menyesatkan sesama muslim yang bersahadat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun