Ketika Nabi Ya'qub hidup sendiri, karena putra tercintanya Yusuf hilang entah ke mana. Nabi Ya'kub mengajurkan kepada putra-putrinya yang lain agar mencarinya dari berbagai cara dan tempat, agar putranya segera ketemu. Begitulah ihtiyar yang dilakukan oleh Nabi Ya'kub, walaupun saya yakin kalau Nabi Ya'kub berdoa agar diberitahukan tempatnya, pasti Allah SWT mengabulkan doanya.
Sebagaimana penjelasan Al-Quran. Nabi Ya'kub as berkata, "Wahai anak-anakku; janganlah kamu masuk dari satu pintu gerbang, dan masuklah dari pintu-pintu gerbang yang berbeda; namun demikian aku tidak dapat mempertahankan kamu sedikitpun dari (takdir) Allah," (Q S Yusuf :67).
Dulu sekali, ketika saya masih ngampus di Umm Al-Qura University Makkah, saya pernah mendengar sebuah pernyataan dari KH Maemun Zubaer seputar politik. Bahwa, sesungguhnya umat Islam itu tidak harus satu partai dalam berpolitik, beliau-pun mengutip QS Yusuf 67. Orang Islam bisa masuk PDI, Golkar, PPP, PKB, PAN, Demokrat, Hanura, Perindo, Nasdem. Dengan demikian, orang Islam bisa memberikan sumbangsih terhadap negara melalui partainya.
Nah, Kyai Maemun itu salah satu tokoh hebat yang konsisten menjaga partai berlambang Baitullah hingga sekarang. Namun demikian, beliau begitu menghormati putra-putra terbaik NU yang bertebaran di berbagai partai, seperti; PKB, Demokrat, Hanura, dll. Bahkan, beliau tidak pernah menolah Jokowi datang. Juga tidak pernah menolah Prabowo datang. Keduanya minta restunya, Kyai Maemun mendoakan kedua-duanya.
QS Yusuf 67 saat ini menjadi menarik banget untuk di cermati oleh politisi. Bagaimana tidak, NU paling banyak bermain dalam dunia pilkada. Tidak tahu kenapa, saya merasa hasrat politis NU jauh lebih besar jika dibadingkan dengan sahwat politisi organisai lainnya. Ada benarnya sih, sebagaimana pernyataan yang pernah disampaikan Kyai Hasyim, "Orang NU jangan menjadi karyawan Politik". Bahkan, KH Hasyim Muzaddi pernah mengilustrasikan warga NU seperti "tukang dorong mobil, begitu mobilnya jalan, warga NU di tinggal".
Saat ini, Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, putra-putri NU bertebarang mencalonkan diri sebagai gubernur, wali kota, bupati. Yang lebih mengasyikkan lagi, kader PKS yang disinyalir kurang cocok kepada PDI, dalam masalah Pilgub Jatim "mesra-mesraan". Lantas ada orang bilang "PKS" itu partai ga jelas, wong PDI kok digandeng. Ada juga yang berkata, "Bisa-bisa PKS itu justru ingin menjatuhkan Gus Ipul".
Pokoknya, dalam urusan politik semua bisa terjadi. Â Bagi warga NU, siapa-pun yang menang, Gubernunya tetap NU. Kenapa NU semua, karena memang partai-partai lain, seperti; PKS, Gerinda, PKS, tidak memiliki calon yang layak di jual di Jatim. Sebaik apa pun kader PKS di Jawa Timur, tidak akan laku. Sampai kapan pun, PAN akan kesulitan mencalonkan kadernya di Jatim.
Gerinda sempat mencalonkan Yenny Wahid. Namun, Yenny Wahid mundur teratur. Entah sungkan sama Mbak Yu Khofiffah, atau tidak ingin berhadapan dengan Saifullah Yusuf yang masih kerabatnya. Setidaknya ini menjadi bukti nyata bahwa Gerindra juga tidak punya calon yang bisa dijual di Jawa Timur. Layla Mataliti akhirnya menjadi pupuk bawang. Padahal setiap pohon, jembatan, pagar, sudah ada gambarnya, tetapi Gerindra sedikit pun tidak melirikanya. Kenapa demikian, karena "Layla Mataliti" tidak layak dijual.
Khofifah santri politik Gus Dur yang konsisten, cerdas, hebat dan dekat dengan ulam dan kyai kembali mencalonkan diri. Rifal politiknya sama, Gus Ipul. Hanya saja, Khafifah sekarang didukung oleh sebagian warga muslimat. Maklumlah, wong beliau itu ketua muslimat pusat. Kyai Solahudin Wahid dan ulama-ulama NU, sebagian besar tetap istikomah mendukunya, khsusunya mereka yang Gusdurian.
Saya ingin sekali menyaksikan "Gus Ipul dan Ibu Khofifah "berhadap-hadappan, debat terbuka adu argumentasi di TV, bukan adu anekdot lho. Kemudian rakyat Jawa Timur menyaksikan, baik warga NU, maupun santri dan Kyai. Jadi pemilihan gubernu itu bukan masalah pria maupun wanita, tetapi karena kemampuan leadership, kecapan, ketangsakan politik. Kalau perlu duitnya juga di hitung masing-masing, agar kelihatan siapa yang kaya dan siapa yang zuhud. Selanjutnya, warga NU akan menyaksikan dengan seksama, sehingga kader NU tidak salah pilih.
Jawa tengah sangat menarik dan unik. Bisa dikatakan, Jateng menjadi basis PDI sejak jaman dulu, tetapi kali ini Ganjar mengandeng putra Kyai Maemun Zubaer. Mendengar nama Kyai Maemun saja orang sudah takdim. Kyai Maemun itu bukan terkenal karena medsos, tetapi karena ilmu dan kedalaman intelektual dan keluhuran budi pekerti sebagai ulama NU.
Kali ini, PDI dan Ganjar seolah-olah ganjar kurang percaya diri jika tampa nempel putra Kyai. Di sini juga menjadi bukti nyata bahwa NU, benar-benar menjadi primadona dalam dunia Pilkada, Pilgub. Namun demikian, parta-partai lain juga mengusung wong NU. Betapa larisnya warga NU dalam dunia politik kali ini.
Jabar juga demikian. Maman Imamnulhaq yang saat ini menjadi politis PKB nekad dengan tekad yang bulat mencalonkan diri lewat Gerindra. Di sana juga ada tokoh hebat "Ridwan Kamil" sosok NU kultural yang dicintai warga Jabar. PKB sangat simpatik kepadanya. Dan di sisi lain, ada Dedy Mulyadi yang di sebut juga warga NU. Bagi warga NU semakin sulit untuk memilihnya, karena menu pilgub dan pilkada benar-benar lebih asik dan mengasikkan.
Paling menarik lagi, Pilkada Kota Malang. Dimana Abah Anton bendahara PCNU Kota Malang bergandengan dengan PKS. Lawan potikinya adalah Sutiaji yang juga pengurus PCNU. Tak ketinggalan, Nanda sosok cantik warga keturunan Arab yang juga wong NU ikut serta. Memang tidka ad kader PKS, PAN? Sampai-sampai warga PKS mengatakan "bapak kita bersama". Kalimat itu keluar karena PKS butuh Abah Anton yang NU itu. Kota Malang calonnya ada Tiga, Anton Muslim Keturunan China, Nanda Keturunan Arab, Sutiaji Jawa Asli. Semuanya warga NU deles.
Semua warga NU laku keras dan layak jual dalam pilkada serentak kali ini. Tinggal para marketingnya, apakah mereka bisa meyakinkan calon pemilih. Deretan calon NU bagus dan berkualitas, kelas berat semua. Jika mereka tidak terpilih, bukan barangnya tidak bagus, tetapi cara menjual dan menawarkannya tidak bisa.
Ini juga menjadi indikasi, bahwa warga NU itu sudah mulai mapan dalam dunia politik, pendidikan dan ekonomi dibandingkan yang lain. Buktinya, Gus Yasin, Emil Dardak itu tokoh-tokoh NU muda yang ngerti ngaji asli Nusantara. Namun, semua akan menjadi petaka jika sesama warga NU gontok-gontokan dan saling menjatuhkan dengan cara yang tidak sehat.
Setelah pilkada dan pilgub serentak dilaksanakan. Para calon terpiliah, semua akan sowan kepada Jokowi. Kemudian Jokowi melantiknya. Mereka akan dipameri capaian-capain Presiden selama ini. Keberhasilan, kesantuan, serta kerja keras Jokowi akan menginpirasi calon kepala daerah masing-masing.
 Saat itu memasuki pemilihan Presiden, 2019. Semua mata akan tertuju pada Jokowi. Jokowi itu tidak banyak ngomong tetapi banyak kerja. Sering dicela, tetapi tidak membalasnya. Itung-itung menjadi pelebur dosa. Kesabaran Jokowi akan mengantarkan dirinya menjadi calon presiden terkuat kembali di 2019. Para ketua-ketua Parta Politik yang merasa NU, dengan percaya diri akan menawarkan menjadi pendamping Jokowi. Apalagi, bupati, walikota dan Gubernur dari kalangan NU banyak, khususnya di Pulau Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H