Banyak yang mengira jika Islam Nusantara itu Menusantarakan Islam. Adalagi yang curiga dengan mengatakan “Islam Nusantara itu produk JIL (Jaringan Islam Liberal). Ada juga yang suudhon (berprasaka buruk) “Islam Nusantara Itu Syiah”. Lebih buruk lagi, ada yang mengatakan “Islam Nusantara itu Sesat”.
Beragama tuduhan, cibiran, bahkan menyesatkan itu sudah biasa dalam demokrasi. Yang tidak biasa adalah, jika yang menyesatkan ada orang berpendapat bahwa “Islam Nusantara” sesat, tetapi tidak tabayyun (klarifikasi) terlebih dahulu kepada orang atau fihak yang mengagas Islam Nusantara. Padahal, Al-Quran itu jelas-jelas mengatakan “wahai orang-orang yang ber-iman, jika datang kepada kalian orang-orang fasik dengam membawa sebuah berita besar (penting), maka tabayunlan (klarfikasilah)” (QS Al-Hujurah (49:6).
Ayat ini memerintahkan kepada orang-orang yang “ber-iman”. Artinya, jika orang yang benar-benar percaya kepada Allah SWT dari hati yang paling dalam, diucapkan dengan lisan dan dibuktikan dengan perbuatan sehari-hari, tatkala mendengar atau membaca “ISLAM NUSANTARA” kemudian tidak “tabayyun” terlebih dahulu, bahkan kemudian dengan lantang dan sombong menjustifikasi “tersesat” maka ia termasuk orang yang tidak mengamalakan QS Al-Hujurat 49:6.
Dan yang lebih mengerikan lagi, yang dijadikan sumber rujukan adalah “Jonru”, twitter, FB bukan dari sumber aslinya. QS Al-Hujurat itu mewanti-wanti, jika datang kepada kalian “orang fasik” atau pembohong maka tabayunlah. Dalam ini, berita dari internet, seperti; FB, Twiter, bukanlan rujukan utama yang disarankan oleh Al-Quran dan Rosulullah SAW. Cukup banyak orang-orang pembohong (fasik), juga para pengadu domba, juga memelintir sebuah informasi agar umat islam terpecah belah, atau karena benci terhadap NU. Atau karena masalah pasca politik pemilihan presiden Jokowi VS Prabowo yang masih terasa meyesakkan dada orang-orang yang kalah.
Terlepas dari kontroversi istilah “ISLAM NUSANTARA”, sesungguhnya Islam Nusantara itu tidak merubah akidah, syariahnya. Secara teology, tetap mengikuti Ahlussunah Waljamaah yang di rumuskan oleh Abu Hasan Al-Asy’ary dan tetap mengikuti Madhabul Arbaah (Imam Abu Hanifah, Malik, Syafii dan Ibn Hambal). Dan, sebagian besar masyarakat Indonesia sejak ber-abad abad adalah mermadhab Syafii dan berteology Abu Hasan Al-Asyaary.
Semua tahu, semua ulama rujukan Nahdiyin adalah Ahlussnnah Waljamaah, bukan Syiah dan bukan Wahabiyah. Sedangkan rujukan utamanya adalah Al-Quran dan hadis Rosulullah SAW, yang telah dijelaskan di dalam kitab-kitab tafsir, hadis, fikih, dan Tasawuf. Tidak ada sedikitpun perubahan yang terjadi dalam Istilah Islam Nusantara.
Hanya saja, Islam Nusantara itu menjelaskan bagaimana praktik keislaman masyarakat Nusantara ini tecermin dalam perilaku sosial budaya Muslim Indonesia yang moderat (tawassuth), menjaga keseimbangan (tawazun), dan toleran (tasamuh). Dimana ketiganya ini telah dijelaskan oleh KH Ahmad Sidiq Jember. Tiga sikap ini menjadi pijakan kalangan pesantren untuk mencari dari jalan keluar berbagai problematika sosial akibat tidak terbendungnya liberalisme, kapitalisme, sosialisme. Dan yang tidak kalah penting adalah radikalisme agama-agama yang sangat menyedihkan.
Jadi, tidak ada alasan menolah dan mencaci Islam Islam Nusantara, apalagi menyesatkan tanpa ada alasan atau argumentasi yang kuat dan dapat dipertanggung jawabkan. Apalagi hanya sekedar ikit-ikutan.
Sekali lagi Islam Nusantara itu tidak Menusantarakan Islam yang sudah mapan baik dari segi akidah maupaun syariah. Proses Islamisasi di Nusantara ini, bukan melalu pedang dan perang, tetapi melalui pendekatan budaya (kulutural), seperti; Wayang Kulit, gamelan, Maulidan yang dilakukan oleh para ulama dan keturunan Rosulullah SAW. Prof.Dr.H. Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam majalah tengah bulanan “Panji Masyarakat” No.169/ tahun ke XV11 15 februari 1975 (4 Shafar 1395 H) halaman 37-38 menjelaskan bahwa pengajaran agama Islam di negeri kita diajarkan langsung oleh para ulama keturunan cucu Rasulullah SAW, seperti; Syarif Hidayatullah atau yang dikenal dengan Sunan Gunung Jati.
Jadi, saat Jokowi memberikan sambutan di Masjid Istiqlal kemudian menyebutkan istilah “Islam Nusantara”, menjadi kaget seperti disamba petir di siang bolong. Orang-orang yang paling kenceng di dalam menyikapi istilah “Islam Nusantara” Hartono A. Jaiz. Bagi Hartono Jaiz, spesialis menyesatkan orang lain. Dzikir berjamaah sepertil Arifin Alham, tawasul, Sholawatan (Maulidan), Sholawat Nariyah, semua dikatkan bi’dah (tersesat). Jadi, wajar jika kemudian Hartono Jaiz, baginya menyesatkan yang tidak sama dengannya itu Jaiz (boleh).
Ada juga orang yang tidak suka dengan istilah “Islam Nusantara”, yaitu Bachtiar Nasir, memang lagi ngetren, di TV. Statemen yang pernah ditulis sangat kasar dan kurang bijaksana, seperti; Jokowi emang hebat, di Solo mewariskan pemimpin KAFIR, di Jakarta juga mewariskan pemimpin KAFIR. Selangkah lagi akan KAFIR kan Indonesia,” jelas Ustadz Bachtiar dalam akun Twitternya @BachtiarNasir, Sabtu malam (15/03). Tokoh selanjutny adalah Felix Y Siauw. Semua tahu siapa itu Felix Y Sia
Jonru Ginting (facebooker), pendudukun setia PKS (Partai Keadilan Sejahtera), juga mengeluarkan statemen yang tidak elok terhadap Islam Nusantara. Begitu juga dengan Kholili Hasib, MA (alumnus Gontor), seorang penulis tentang Syiah sangat tidak bersahabat dengan status Islam Nusantara. Satu lagi orang yang tidak setuju dengan Islam Nusantara. Dan masih banyak lagi orang yang keberatan dengan “Islam Nusantara”.
Yang menarik untuk dicermati dari para pengkritik Islam Nusantara, terlalu tergesa-gesa menuduh sesat, Syiah, proyek liberalisasi, pesanan asing, Jawa sentris. Hampir setiap saat bisa ditemukan dibeberapa medos, seperti; FB, Twitter, bahkan website yang nyata-nyata memusuhi Nahdiyin, seperti; Nahi Mungkar yang tidak segan-segan menyesatkan orang melakukan Maulidan Nabi Muhammad, Tawassul, dengan alasan tidak ada tuntunan dari Rosulullah SAW.
Sekali lagi secara ideologis yang dimaksud dengan Islam Nusantara itu bukan Menusantarakan Islam, tetapi tetap Islam Ahlussunah Waljamaah dengan fondasi Asy’ariyah dalam teologi, Syafi’iyah dalam madhab fiqih, dan Imam Al-Ghazali dalam aspek tasawuf. Sejak ber-abad-abad, Ahlussunah Waljamaah Yang ada dan berkembang adalah “Teologi Asy’ary dan Madhab Al-Syafii”. Ini bisa dilihat dari berbagai literatur dalam buku : “Kiprah Ulama Nusantara di Tanah Suci Makkah”, puluhan, bahkan ratusan ulama yang bermukim di Makkah, khususnya dari Negeri Nusantara itu secara jelas dan tegas mengitui Teology Asya’ry dan Syafii Madhabnya.
Unutuk menjadga eksitsenti Ashlussunah Waljamaah, para ulama mendidirikan pesantren diberbagai wilayah Nusantara, seperti; Pesantren Lirboyo, Langitan, Sidogiri, Tebur Ireng, yang usianya sudah ratusan tahun. Secara keseluruhan, teologi dan madhabnyanya sama persis. Sanad ke-ilmuan juga nyambung (linier), bisa dipertanggung jawabkan. Bahasa yang digunakan untuk menyampaikan materi juga mengunakan “Arab Aego”. Secara tulisan menggunakan bahasa Arab, tetapi bunyinya bahasa Jawa (atau Melayu).
Beberapa kitab kuning yang pelajari oleh santri sejak ber-abad-abada menggunakan istilah “makno gandul” dengan mennggunakan “Arab Pego”. Dan ini hanya ditemukan di Nusantara. Tradisi puji-pujian setelah adzan menjadi tradisi yang harus dilestarikan. Membumikan sholawat dan hadis Rosulullah SAW dengan cara di artikan dengan Syair Jawa/ melayu kemudian di buat puji-pujian. Ini sangat menarik dan mengesankan, dan hanya bisa ditemukan di Negeri Nusantara.'
Bebagi makanan kepada tetangga dan kerabat pada sepuluh terahir bulan Ramadhan, itu bagian dari cara ulama Nusantara mengartikan “banyak sedekah” pada bulan ramadhan. Karena amal ibadah yang dilakukan pada bulan puasa itu pahalanya dilipat gandakan. Begitu juga dengan ziarah kubur menjelang Ramahan dan saat hari raya. Itu bagian tradisi yang memiliki landasan sunnah Rosulullah SAW, yaitu perintah Ziarah Kubur. Kemudian dalam tradisi orang Jawa dikatakan dengan “Nyadran”.
Ketika meng-artikan dan mengamalkan Silaturahmi, para ulama Nusantara dengan mudah dan gampag dengan mengemas dengan “tahlilan” yang dilakukan pada hari tertentu. Tujuan utamanya ialah, berdoa bersama dengan membaca Yasin, kemudian antara tetangga bisa slaling bertemu dan saling menyapa. Bukankan saling menyapa (Ifasau Al-Salam) itu perintah Rosulullah SAW, begitu juga dengan silaturahmi dan berbagi makanan.
Ketika bulan Ramadah usai, umat Islam saling bermaaf-mafakan atas segala khilaf yang pernah dilakukan. Kemudian, Ulama Nusantara mengadakan Silaturahmi Kolektif yang disebut dengan istilah “Halal bi Halal”. Bukankah Halal Bihalal itu bagian dari semangat silaturhami yang diajarkan oleh Rosulullah SAW. Halal bi Halal, tidak bisa ditemukan kecuali di Negeri Indonesia (Nusantara).
Begitu juga dengan anak-anak yang berbondong-bondong Mudik dengan tujuan “sungkeman”. Bukakah sungkeman itu bagian dari “Birrul Walidain” yang diperintahkan di dalam Al-Quran dan Rosulullah SAW. Jadi, Islam Nusantara itu bukan merubah, tetapi memperluas khazanah budaya yang selaras dengan ajaran Rosulullah SAW.
Dalam dunia inteletual, para ulama Nusantara menulis Tafir Al-Quran dengan menggunakan bahasa Jawa, seperti; tafsir Al-Ibris, ada juga dengan bahsa Melayu, Madura, dan bahasa lainya. Padahal itu tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah SAW. Tetapi, agar supaya pesan-pesan Al-Quran dan pesan Rosulullah SAW itu samapi para masyarakat maka digunakan bahasa Jawa/ Melayu. Inilah kecerdasan para Ulama Nusantara di dalam membumikan pesan-pesan Al-Quran kepada masyarakat Awwam sesuai dengan kemampuan inteletual mereka.
Islam Nusantara itu tidak anti Arab, juga tidak benci Arab. Justru pesan-pesan Rosulullah SAW yang menggunakan bahasa Arab disederhanakan dengan bahasa lokal. Sekali lagi, Islam Nusantara membumikan tradisi-tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam, bukan merubah Islam atau menusantarakan Islam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H