Jonru Ginting (facebooker), pendudukun setia PKS (Partai Keadilan Sejahtera), juga mengeluarkan statemen yang tidak elok terhadap Islam Nusantara. Begitu juga dengan Kholili Hasib, MA (alumnus Gontor), seorang penulis tentang Syiah sangat tidak bersahabat dengan status Islam Nusantara. Satu lagi orang yang tidak setuju dengan Islam Nusantara. Dan masih banyak lagi orang yang keberatan dengan “Islam Nusantara”.
Yang menarik untuk dicermati dari para pengkritik Islam Nusantara, terlalu tergesa-gesa menuduh sesat, Syiah, proyek liberalisasi, pesanan asing, Jawa sentris. Hampir setiap saat bisa ditemukan dibeberapa medos, seperti; FB, Twitter, bahkan website yang nyata-nyata memusuhi Nahdiyin, seperti; Nahi Mungkar yang tidak segan-segan menyesatkan orang melakukan Maulidan Nabi Muhammad, Tawassul, dengan alasan tidak ada tuntunan dari Rosulullah SAW.
Sekali lagi secara ideologis yang dimaksud dengan Islam Nusantara itu bukan Menusantarakan Islam, tetapi tetap Islam Ahlussunah Waljamaah dengan fondasi Asy’ariyah dalam teologi, Syafi’iyah dalam madhab fiqih, dan Imam Al-Ghazali dalam aspek tasawuf. Sejak ber-abad-abad, Ahlussunah Waljamaah Yang ada dan berkembang adalah “Teologi Asy’ary dan Madhab Al-Syafii”. Ini bisa dilihat dari berbagai literatur dalam buku : “Kiprah Ulama Nusantara di Tanah Suci Makkah”, puluhan, bahkan ratusan ulama yang bermukim di Makkah, khususnya dari Negeri Nusantara itu secara jelas dan tegas mengitui Teology Asya’ry dan Syafii Madhabnya.
Unutuk menjadga eksitsenti Ashlussunah Waljamaah, para ulama mendidirikan pesantren diberbagai wilayah Nusantara, seperti; Pesantren Lirboyo, Langitan, Sidogiri, Tebur Ireng, yang usianya sudah ratusan tahun. Secara keseluruhan, teologi dan madhabnyanya sama persis. Sanad ke-ilmuan juga nyambung (linier), bisa dipertanggung jawabkan. Bahasa yang digunakan untuk menyampaikan materi juga mengunakan “Arab Aego”. Secara tulisan menggunakan bahasa Arab, tetapi bunyinya bahasa Jawa (atau Melayu).
Beberapa kitab kuning yang pelajari oleh santri sejak ber-abad-abada menggunakan istilah “makno gandul” dengan mennggunakan “Arab Pego”. Dan ini hanya ditemukan di Nusantara. Tradisi puji-pujian setelah adzan menjadi tradisi yang harus dilestarikan. Membumikan sholawat dan hadis Rosulullah SAW dengan cara di artikan dengan Syair Jawa/ melayu kemudian di buat puji-pujian. Ini sangat menarik dan mengesankan, dan hanya bisa ditemukan di Negeri Nusantara.'
Bebagi makanan kepada tetangga dan kerabat pada sepuluh terahir bulan Ramadhan, itu bagian dari cara ulama Nusantara mengartikan “banyak sedekah” pada bulan ramadhan. Karena amal ibadah yang dilakukan pada bulan puasa itu pahalanya dilipat gandakan. Begitu juga dengan ziarah kubur menjelang Ramahan dan saat hari raya. Itu bagian tradisi yang memiliki landasan sunnah Rosulullah SAW, yaitu perintah Ziarah Kubur. Kemudian dalam tradisi orang Jawa dikatakan dengan “Nyadran”.
Ketika meng-artikan dan mengamalkan Silaturahmi, para ulama Nusantara dengan mudah dan gampag dengan mengemas dengan “tahlilan” yang dilakukan pada hari tertentu. Tujuan utamanya ialah, berdoa bersama dengan membaca Yasin, kemudian antara tetangga bisa slaling bertemu dan saling menyapa. Bukankan saling menyapa (Ifasau Al-Salam) itu perintah Rosulullah SAW, begitu juga dengan silaturahmi dan berbagi makanan.
Ketika bulan Ramadah usai, umat Islam saling bermaaf-mafakan atas segala khilaf yang pernah dilakukan. Kemudian, Ulama Nusantara mengadakan Silaturahmi Kolektif yang disebut dengan istilah “Halal bi Halal”. Bukankah Halal Bihalal itu bagian dari semangat silaturhami yang diajarkan oleh Rosulullah SAW. Halal bi Halal, tidak bisa ditemukan kecuali di Negeri Indonesia (Nusantara).
Begitu juga dengan anak-anak yang berbondong-bondong Mudik dengan tujuan “sungkeman”. Bukakah sungkeman itu bagian dari “Birrul Walidain” yang diperintahkan di dalam Al-Quran dan Rosulullah SAW. Jadi, Islam Nusantara itu bukan merubah, tetapi memperluas khazanah budaya yang selaras dengan ajaran Rosulullah SAW.
Dalam dunia inteletual, para ulama Nusantara menulis Tafir Al-Quran dengan menggunakan bahasa Jawa, seperti; tafsir Al-Ibris, ada juga dengan bahsa Melayu, Madura, dan bahasa lainya. Padahal itu tidak pernah dilakukan oleh Rosulullah SAW. Tetapi, agar supaya pesan-pesan Al-Quran dan pesan Rosulullah SAW itu samapi para masyarakat maka digunakan bahasa Jawa/ Melayu. Inilah kecerdasan para Ulama Nusantara di dalam membumikan pesan-pesan Al-Quran kepada masyarakat Awwam sesuai dengan kemampuan inteletual mereka.
Islam Nusantara itu tidak anti Arab, juga tidak benci Arab. Justru pesan-pesan Rosulullah SAW yang menggunakan bahasa Arab disederhanakan dengan bahasa lokal. Sekali lagi, Islam Nusantara membumikan tradisi-tradisi yang sesuai dengan ajaran Islam, bukan merubah Islam atau menusantarakan Islam.