Tiba-tiba mataku seolah terbuka. Aku yakin itu hanya perasaanku. Sebagaimana biasanya, kita merasa melihat sekitar, padahal sebenarnya mata kita tertutup. Itu adalah rekaman otak yang menyimpan gambar kamar atau ruang di mana kita tidur.
Di langit-langit kamar, kulihat ada bayangan hitam. Ia bergoyang-goyang pelan, dan aku berusaha mengabaikan. Kuingat-ingat, dengan siapa aku tidur malam ini. Sepertinya aku tidur sendiri, pikiranku menjawab. Dan memang, di sebelahku tidak ada siapa-siapa. Waktu itu aku masih lajang, tentu saja tidur sendirian di kamar sendiri.
Bayangan itu membesar, seperti berusaha memperlihatkan dirinya ke wajahku. Oke, kulihat ke atas. Siapa sih kamu? Ini kan cuma mimpi, batinku.
Tidak ada wajah yang terlihat. Hanya bayangan hitam. Namun ketika kuperhatikan baik-baik bayangan itu, ternyata ia adalah pocong dalam ukuran jumbo. Kurang ajar!
Yang terlihat hanya bagian perut ke atas. Seolah jika aku berdiri, maka sisanya (perut hingga "kaki") akan terlihat di sisi atas tempat tidur. Tangannya bersedekap, layaknya jenazah dalam kain kafan. Kain bagian atasnya menjulur berayun, karena kepala itu bergoyang menunduk.
Akhirnya kubaca juga ayat kursi. Berusaha tenang walau deg-degan. Kepada siapa minta tolong kalau bukan ke Allah. Wong teriak juga gak bisa, apalagi aku bukan tipikal cewek yang gampang histeris.
Perlahan, aku mulai bisa bergerak. Entah mataku akhirnya terbuka, atau tadi memang sudah terbuka. Dan keadaan kamar itu persis dengan ketika ketindihan terjadi. Ah, cuma mimpi, kataku pada diri sendiri.
Kupandangi langit-langit, ada perasaan tak enak. Akhirnya kuputuskan keluar dari kamar. Untunglah orangtuaku sudah lama tidur pisah kamar. Almarhum Bapak suka tidur di warung, sedangkan Mamak di kamar belakang.
"Ngapo, Ri?" tanya Mamak ketika aku masuk ke kamar beliau.
"Ndaklah," kataku. Lalu tidur di sebelahnya.
Baca juga: Cara Mudah Mengatasi Ketindihan