Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Ketika Organisasi Dipimpin Seorang Bos

2 Juni 2021   14:57 Diperbarui: 2 Juni 2021   15:01 380
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Michael Dziedzic on Unsplash

"Mbak Tari, sini!" seseorang melambai saat aku hendak keluar ruangan.

Saat itu kami sama-sama menghadiri perhelatan sastra. Dan aslinya kami saling mengenal, namun tak pernah berbincang sebelumnya.

Obrolan dibuka santai, membahas ini itu, si ini si itu. Kemudian sampailah pada pokok pembahasan. Mbak yang usianya sekira lima tahun di atasku itu mengajak aku bergabung dengan organisasi yang ia ketuai.

Organisasi atau komunitas ya? Aku lupa apakah mereka punya AD/ART dan sebagainya hingga bisa disebut organisasi. Yang jelas saat itu muncul setitik keraguan. Sebab itu kali pertama aku berinteraksi dengannya, dan ketika kutanyakan satu nama untuk juga diajak bergabung, dia bilang sudah ditawarkan namun yang bersangkutan menolak.

Orang yang menolak ini, punya banyak kesamaan denganku. Kecuali agama, suku, dan pilihan politik. Itu bukan alasan untuk tidak akrab kan. Setidaknya ketika membahas dunia literasi di kota kecil kami, maupun di Indonesia, kami kerap sepemahaman.

Anggaplah namanya Feb, sedangkan yang mengajakku berbincang adalah Mar. Seringnya dalam penjurian naskah, aku dan Kak Feb bertemu dalam satu meja. Aku tau, dalam banyak kegiatan literasi, Kak Feb sangat aktif. Untuk yang sungguh-sungguh, ia jarang menolak jika diminta bergabung. Dan Kak Feb ini, lebih dulu mengenal Mbak Mar. Lebih banyak berinteraksi sebelumnya.

Meski penasaran kenapa Kak Feb menolak ajakan Mbak Mar, tapi kuterima juga tawaran perempuan modis itu. Cuma karena satu alasan; tak enak hati menolak.

Baca juga: Kenapa Spongebob Berwarna Kuning?

Dicoba Saja Dulu!

Tak jauh dari hari bertemunya aku dengan Mbak Mar, sebuah kegiatan mempertemukanku dengan Kak Feb. Langsung kutanya perkara tawaran Mbak Mar pada kami.

"Oh, aku dak cocok dengan dio," kata Kak Feb.

Aku menyimak.

"Orangnyo baik, Tari. Jangan terpengaruh yo!" seolah beliau sedang meralat sesuatu. "Coba be dulu. Tiap orang kan beda-beda pikirannyo."

Begitulah. Akhirnya aku pun tergabung dalam (anggaplah) organisasi tersebut. Bersama teman-teman lain, yang sudah maupun baru kenal. Kami bertemu beberapa kali dalam satu bulan, untuk kemudian sepakat mengadakan kegiatan literasi pertama.

Baca juga: Ternyata Mbak Mar Tergolong Toxic

Memimpin dengan Telunjuk

Sebenarnya untuk sebuah wadah baru, agak terlalu berat menurutku mengadakan acara besar dengan mengundang tamu dari ibu kota. Apalagi acara ini tidak berbayar, mendatangkan pembicara dari luar kota jelas harus menanggung segala macam kebutuhannya.

Tapi tidak begitu bagi Mbak Mar. Ia cukup menghubungi temannya yang memiliki percetakan, menugaskan adik-adik mahasiswa menyebar proposal, lalu ia menelepon satu per satu kepala lembaga di mana proposal itu mendarat.

Tak butuh waktu tak lama, beberapa tokoh menjanjikan dana untuk kegiatan tersebut. Rasanya ilmu organisasi yang kugali bertahun-tahun di berbagai tempat, runtuh begitu saja. Orang ini sakti!

Dari tempat, perlengkapan, sampai konsumsi, kami tak keluar dana sepeser pun. Semua ditanggung. Tapi menjelang cair, Mbak Mar meminta bantuan temannya yang lain lagi untuk menalangi. Teman yang lain ini, lalu curhat padaku bahwa ia sudah berbulan-bulan tak terima gaji.

"Payah dio ni, Dek. Dak biso ditolak orangnyo," keluh teman Mbak Mar. "Kakak ni kalu dak Abang kau beduit, dak telap kerjo di situ."

Kali itu, aku datang bersama panitia yang lain, yang juga mengeluh. "Pusing aku, Kak. Sano sini cari dana, antar surat. Dio enak be tinggal nelpon-nelpon."

"Dio tu Bos!" sambar si kakak langsung.

Aku sebagai yang baru mengenal Mbak Mar pelan-pelan mulai memahami yang terjadi.

Singkat cerita, acara berlangsung cukup sukses. Aku didapuk sebagai moderator. Mbak Mar yang tak pernah hadir sejak persiapan hingga gladi, tiba-tiba muncul di podium dengan teks di tangan. Aku tertawa dalam hati. Walau tak sakti soal dana, setidaknya aku tak pernah bawa teks untuk membuka acara.

Setelah acara perdana sukses, Mbak Mar mewacanakan acara kedua, semacam diskusi santai. Output dari agenda kedua ini, adalah terbitnya kumpulan karya kami. Awalnya Mbak Mar mengusulkan kumpulan puisi. Karena aku nyaris tak pernah membuat puisi, aku minta diadakan proyek yang sama untuk cerpen. Mbak Mar dkk setuju. Lalu disepakatilah tempat untuk diskusi santai bertema sastra itu.

Sebagai pendiri organisasi yang terbiasa susah, kupikir diskusi akan diadakan lesehan di ruang publik. Atau mungkin di kafe murah dengan menu ala kadarnya. Tapi Mbak Mar beda kelas. Sejak rencana digulirkan, segera ia memesan proposal.

Temanku yang pernah curhat sebelumnya, diminta membuat surat. Nantinya surat dan proposal ini akan diantar lagi ke beberapa lembaga. Si A ajukan peminjaman tempat, si B hubungi media untuk liputan. Aku terperangah, diskusi santai macam apa ini!

Sudahlah, aku pamit baik-baik. Meski dirayu berkali-kali, aku tetap pada pendirian. Pantas saja Kak Feb langsung menolak. Mana kami terbiasa dengan sistem berorganisasi seperti ini. Kemampuan nulis tak seberapa, malah jadi EO!

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun