Aku menyimak.
"Orangnyo baik, Tari. Jangan terpengaruh yo!" seolah beliau sedang meralat sesuatu. "Coba be dulu. Tiap orang kan beda-beda pikirannyo."
Begitulah. Akhirnya aku pun tergabung dalam (anggaplah) organisasi tersebut. Bersama teman-teman lain, yang sudah maupun baru kenal. Kami bertemu beberapa kali dalam satu bulan, untuk kemudian sepakat mengadakan kegiatan literasi pertama.
Baca juga: Ternyata Mbak Mar Tergolong Toxic
Memimpin dengan Telunjuk
Sebenarnya untuk sebuah wadah baru, agak terlalu berat menurutku mengadakan acara besar dengan mengundang tamu dari ibu kota. Apalagi acara ini tidak berbayar, mendatangkan pembicara dari luar kota jelas harus menanggung segala macam kebutuhannya.
Tapi tidak begitu bagi Mbak Mar. Ia cukup menghubungi temannya yang memiliki percetakan, menugaskan adik-adik mahasiswa menyebar proposal, lalu ia menelepon satu per satu kepala lembaga di mana proposal itu mendarat.
Tak butuh waktu tak lama, beberapa tokoh menjanjikan dana untuk kegiatan tersebut. Rasanya ilmu organisasi yang kugali bertahun-tahun di berbagai tempat, runtuh begitu saja. Orang ini sakti!
Dari tempat, perlengkapan, sampai konsumsi, kami tak keluar dana sepeser pun. Semua ditanggung. Tapi menjelang cair, Mbak Mar meminta bantuan temannya yang lain lagi untuk menalangi. Teman yang lain ini, lalu curhat padaku bahwa ia sudah berbulan-bulan tak terima gaji.
"Payah dio ni, Dek. Dak biso ditolak orangnyo," keluh teman Mbak Mar. "Kakak ni kalu dak Abang kau beduit, dak telap kerjo di situ."
Kali itu, aku datang bersama panitia yang lain, yang juga mengeluh. "Pusing aku, Kak. Sano sini cari dana, antar surat. Dio enak be tinggal nelpon-nelpon."