"Dio tu Bos!" sambar si kakak langsung.
Aku sebagai yang baru mengenal Mbak Mar pelan-pelan mulai memahami yang terjadi.
Singkat cerita, acara berlangsung cukup sukses. Aku didapuk sebagai moderator. Mbak Mar yang tak pernah hadir sejak persiapan hingga gladi, tiba-tiba muncul di podium dengan teks di tangan. Aku tertawa dalam hati. Walau tak sakti soal dana, setidaknya aku tak pernah bawa teks untuk membuka acara.
Setelah acara perdana sukses, Mbak Mar mewacanakan acara kedua, semacam diskusi santai. Output dari agenda kedua ini, adalah terbitnya kumpulan karya kami. Awalnya Mbak Mar mengusulkan kumpulan puisi. Karena aku nyaris tak pernah membuat puisi, aku minta diadakan proyek yang sama untuk cerpen. Mbak Mar dkk setuju. Lalu disepakatilah tempat untuk diskusi santai bertema sastra itu.
Sebagai pendiri organisasi yang terbiasa susah, kupikir diskusi akan diadakan lesehan di ruang publik. Atau mungkin di kafe murah dengan menu ala kadarnya. Tapi Mbak Mar beda kelas. Sejak rencana digulirkan, segera ia memesan proposal.
Temanku yang pernah curhat sebelumnya, diminta membuat surat. Nantinya surat dan proposal ini akan diantar lagi ke beberapa lembaga. Si A ajukan peminjaman tempat, si B hubungi media untuk liputan. Aku terperangah, diskusi santai macam apa ini!
Sudahlah, aku pamit baik-baik. Meski dirayu berkali-kali, aku tetap pada pendirian. Pantas saja Kak Feb langsung menolak. Mana kami terbiasa dengan sistem berorganisasi seperti ini. Kemampuan nulis tak seberapa, malah jadi EO!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H