Dan nikahkanlah orang-orang yang masih membujang di antara kamu, dan juga orang-orang yang layak (menikah) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya), Maha Mengetahui. (QS An-Nur 32).
Berangkat dari perintah itu, aku pun berinisiatif menjodohkan beberapa kenalan. Kebanyakan tanpa lebih dulu memberitahu mereka, khawatir berharap. Jika sudah ada yang serius, baru kutanyakan kesediaannya.
Ternyata jadi comblang itu sulit. Beberapa teman banyak yang mundur. Salah satu teman malah mengaku kapok menjadi comblang, sebab pasangan yang ia jodohkan ternyata rumah tangganya berantakan.Â
Ia kemudian jadi kambing hitam yang tak hanya disalahkan oleh kedua pasangan, tapi juga keluarga mereka. Keuntungan materi tidak ada, malah ketiban pulung.
Setelah mencoba-coba dan kebanyakan gagal, ditambah curhat temanku itu, akhirnya aku mulai mengendurkan langkah menjadi comblang. Agak cemas juga jika nasib yang sama terjadi. Ini salah satu pengalaman yang membuatku menyusul teman-teman, pensiun dari dunia comblang menyomblang. Kalau kamu sedang berikhtiar mendapatkan jodoh lewat jasa cuma-cuma dari teman, ambil pelajaran, ya!
Baca juga:Â Ikhtiarku Menjemput Jodoh
R meminta izin untuk memberi nomor WA-ku ke temannya, D (inisial karangan. Aku lupa sih namanya). D berusia 4 tahun lebih muda dariku, butuh istri dalam waktu dekat. Ia sudah paham, bahwa aku tidak akan menjodohkan pasangan lewat jalur pacaran.
Aku punya banyak kenalan jomlo, yang sebagian besar juga merupakan kenalan R, sebab aku dan R terbilang akrab. Jadi kupesan pada D agar tidak mengabarkan atau bertanya pada R tentang orang-orang yang nanti datanya akan kuberi pada D.
D setuju dengan syaratku, selain syarat lain bahwa ia shalat lengkap lima waktu, tidak merokok, dan tidak mengajak calonnya pacaran sebelum mereka resmi menikah. Untuk hal yang demikian, rasanya D sudah sangat paham. Jadi hari itu juga kuberi ia gambaran calon pertama.
Seorang gadis yang usianya 2 tahun lebih tua dari D. Tapi jika mereka berdiri bersama, aku yakin orang akan mengira D jauh lebih tua dari calonnya ini. Selain wajah dan tubuhnya terawat, si calon juga terbilang mapan. Punya kendaraan roda empat, pendidikan S2, setara dengan D.
Yang aku dkk sesama comblang pahami, kami harus mencarikan pasangan yang levelnya tak terlalu jauh jika tak bisa yang benar-benar sejajar. Kadang ada pula yang orangtuanya ingin menantu dari suku tertentu. Asal siap dengan konsekuensinya, tak apa.
Selain itu, hampir semua kami mendahulukan calon laki-laki melihat data calon perempuan. Aku tak ingat alasan pastinya. Tapi aku sendiri jika berada pada posisi lajang, memang lebih suka begitu. Lebih baik ditolak tanpa diketahui daripada sudah melihat calon lalu setuju, kemudian ditolak. Sakitnya pasti lama.
Ternyata D tak ingin menikah dengan perempuan yang lebih tua darinya, walau hanya 2 tahun. Oke, segera kuganti nama lain. Kali ini 4 tahun lebih muda darinya. Begitu D setuju, kuberilah data si calon, lengkap dengan foto dan syarat yang diinginkan si perempuan.
Sekira dua pekan kutunggu kabar dari D, belum ada. Memang begitu, biasanya laki-laki lebih lama memutuskan ketimbang perempuan (dalam hal perjodohan). Dua pekan itu hanya untuk keputusan lanjut atau tidak, bukan proses menuju pernikahan. Meski tidak pacaran, ya gak grasah grusuh juga. Baru kenal langsung kawin!
Nantinya masih ada proses pencocokan visi misi menikah, rencana ke depan, kemudian jadwal saling kunjung keluarga. Jika sudah sampai di tangan keluarga, aku tinggal melihat dari jauh. Yang jelas di awal sudah diantar dengan cara yang baik, tinggal lanjut dengan cara yang baik pula.
Sembari menunggu, iseng kutanya pada R. Apakah D ada bertanya tentang seseorang padanya? Tak disangka, R menjawab ada. Bahkan D juga menanyakan tentang calon yang pertama (untungnya aku tak memberi detailnya, hanya usia dan pekerjaan). Padahal D sudah berjanji bahwa urusan ini hanya antara kami berdua. Hari itu juga, kuputuskan tak lagi meneruskan upaya perjodohan D. Aku benci dikhianati.
Baca juga: Jangan Buru-buru Nikah, Ini Kewajiban Orangtua Terhadap Anaknya!
Jika tak kutanya R, kemudian D menolak. Lalu kuberi D data lain, ia tanya kembali pada R. Maka ada berapa orang yang masuk daftar D dan R sekaligus. Jika kemudian D berjodoh dengan salah satu dari temanku yang juga teman R, maka bukan hanya aku dan D yang tau bahwa ia telah membaca sekian data, tapi juga R.
Itulah kenapa tak semua orang boleh menjadi comblang, hanya yang benar-benar bisa menjaga rahasia. Tapi jika yang dicomblangi segitu embernya, hilang simpatiku. Cari sendirilah, baru selangkah sudah bohong.
Sebelum dan sesudah pengalaman tersebut, aku pernah pula berhadapan dengan  "kasus" lain yang membuktikan bahwa aku tak cocok jadi comblang. Baperan! Ada laki-laki yang minta calon istrinya harus sudah kerja, aku langsung sebal.
Ya kali minta istri bekerja. Takut menafkahi rumah sendirian? Atau malah mau numpang hidup? Ada yang minta istri PNS, aku yang sakit hati. Ada perempuan yang ortunya minta "harga" untuk anaknya, atau keluarga yang sudah punya prasangka aneh-aneh hanya karena gak pacaran. Dikasih jalan bagus malah komplain. Kalau mau asal kawin, besok pagi juga bisa!
Ah dahlah, cari pahala jalur lain saja.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H