Selain itu, hampir semua kami mendahulukan calon laki-laki melihat data calon perempuan. Aku tak ingat alasan pastinya. Tapi aku sendiri jika berada pada posisi lajang, memang lebih suka begitu. Lebih baik ditolak tanpa diketahui daripada sudah melihat calon lalu setuju, kemudian ditolak. Sakitnya pasti lama.
Ternyata D tak ingin menikah dengan perempuan yang lebih tua darinya, walau hanya 2 tahun. Oke, segera kuganti nama lain. Kali ini 4 tahun lebih muda darinya. Begitu D setuju, kuberilah data si calon, lengkap dengan foto dan syarat yang diinginkan si perempuan.
Sekira dua pekan kutunggu kabar dari D, belum ada. Memang begitu, biasanya laki-laki lebih lama memutuskan ketimbang perempuan (dalam hal perjodohan). Dua pekan itu hanya untuk keputusan lanjut atau tidak, bukan proses menuju pernikahan. Meski tidak pacaran, ya gak grasah grusuh juga. Baru kenal langsung kawin!
Nantinya masih ada proses pencocokan visi misi menikah, rencana ke depan, kemudian jadwal saling kunjung keluarga. Jika sudah sampai di tangan keluarga, aku tinggal melihat dari jauh. Yang jelas di awal sudah diantar dengan cara yang baik, tinggal lanjut dengan cara yang baik pula.
Sembari menunggu, iseng kutanya pada R. Apakah D ada bertanya tentang seseorang padanya? Tak disangka, R menjawab ada. Bahkan D juga menanyakan tentang calon yang pertama (untungnya aku tak memberi detailnya, hanya usia dan pekerjaan). Padahal D sudah berjanji bahwa urusan ini hanya antara kami berdua. Hari itu juga, kuputuskan tak lagi meneruskan upaya perjodohan D. Aku benci dikhianati.
Baca juga: Jangan Buru-buru Nikah, Ini Kewajiban Orangtua Terhadap Anaknya!
Jika tak kutanya R, kemudian D menolak. Lalu kuberi D data lain, ia tanya kembali pada R. Maka ada berapa orang yang masuk daftar D dan R sekaligus. Jika kemudian D berjodoh dengan salah satu dari temanku yang juga teman R, maka bukan hanya aku dan D yang tau bahwa ia telah membaca sekian data, tapi juga R.
Itulah kenapa tak semua orang boleh menjadi comblang, hanya yang benar-benar bisa menjaga rahasia. Tapi jika yang dicomblangi segitu embernya, hilang simpatiku. Cari sendirilah, baru selangkah sudah bohong.
Sebelum dan sesudah pengalaman tersebut, aku pernah pula berhadapan dengan  "kasus" lain yang membuktikan bahwa aku tak cocok jadi comblang. Baperan! Ada laki-laki yang minta calon istrinya harus sudah kerja, aku langsung sebal.
Ya kali minta istri bekerja. Takut menafkahi rumah sendirian? Atau malah mau numpang hidup? Ada yang minta istri PNS, aku yang sakit hati. Ada perempuan yang ortunya minta "harga" untuk anaknya, atau keluarga yang sudah punya prasangka aneh-aneh hanya karena gak pacaran. Dikasih jalan bagus malah komplain. Kalau mau asal kawin, besok pagi juga bisa!
Ah dahlah, cari pahala jalur lain saja.