Apa yang paling berharga dalam hidup ini, yang kamu paling takut  kehilangannya? Duit, pasangan, anak, ... ada lagi? Idealnya sih iman. Dan kita harus idealis untuk urusan ini. Meski melakukannya juga butuh proses yang gak sebentar.
Iman itu, kalau sudah hilang, akan jadi bencana besar. Banyak orang mengaku beriman tapi pada praktiknya mereka masih ragu.
Mungkin kita sekadar percaya pada Allah, tapi tidak yakin. Contoh sederhananya begini. Lihatlah anak-anak kecil yang sedang memanjat, biasanya mereka akan naik setinggi-tingginya. Seperti sangat bernyali, tak kenal takut. Padahal yang benar, mereka belum tahu sakitnya jatuh.
Yang cemas adalah orang dewasa, karena mereka pernah merasakan atau melihat orang yang jatuh. Jika ada di antara anak tadi yang belum pernah jatuh, tapi ia menurut ketika diminta turun, berarti anak ini yakin bahwa jatuh itu nyata dan sakit.
Ada anak lain yang menurut hanya karena takut pada orang dewasa yang memintanya turun. Dia selamat, karena mengikuti ucapan yang menitah turun. Yang paling celaka adalah anak yang tak menurut, sampai kemudian benar-benar jatuh dan merasa sakit.
Itu analogi sederhana supaya mudah dicerna akal. bukan menyandingkan perkara iman dengan cara anak bermain.
Baca juga: Memahami Metode Hisab dan Rukyat untuk Melihat Hilal
Poligami
Ketika Aa' Gym awal-awal melakukan praktik poligami, publik hiruk pikuk. Aku termasuk yang membela, semata karena alasan polilgami itu halal. Lalu seorang teman bertanya, "Memangnya kamu mau dipoligami?" Aku pun terdiam.
Kemudian kini ramai diberitakan almarhum Ustaz Jefri al-Bukhori alias Uje yang ternyata juga berpoligami. Sebelumnya, almarhum Syekh Ali Jaber juga diketahui memiliki lebih dari satu istri setelah wafatnya.
Tapi aku masih tetap membela. Bedanya, sekarang aku punya jawaban jika ada yang bertanya, memangnya aku mau dipoligami?
Aku setuju pada praktik poligami, dengan satu syarat; pelakunya bukan suamiku. Curang? Mungkin. Tapi tidak ingin dipoligami beda secara makna maupun hukum dengan yang tidak setuju pada praktik poligami.
Sebab kebolehan poligami sudah ditentukan Allah, manusia tidak punya hak mengharamkan yang halal dan atau sebaliknya. Terserah faktor perasaan atau  kultur, poligami memang kurang diterima masyarakat kita. Tapi dalam syariat, praktik ini dibolehkan.
Aku sudah pernah membahas di Kompasiana tentang syarat dan ayat tentang poligami yang sebenarnya lebih pada pembatasan, bukan perintah. Jadi tak akan kuulang-ulang. Khusus pada artikel ini, poinnya adalah penerimaan akan hukum Allah.
Jengkol itu halal. Kamu tidak suka jengkol, tetanggamu tergila-gila pada jengkol. Selama ia bisa menjaga limbah jengkolnya, sampai kiamat kamu tidak berhak melarang dia makan jengkol. Lebih kurang begitu.
Baca juga:Â Kekeliruan Nabi Muhammad
Hak waris
Seorang adik yang hubungannya kurang harmonis dengan sang abang, punya harapan bahwa ia akan mewarisi harta yang ditinggalkan abangnya. Sebab saudaranya itu tak memiliki anak laki-laki.
Menurut pengetahuannya, dalam Islam seorang laki-laki berhak mewarisi harta saudaranya jika almarhum tidak memiliki anak laki-laki. Kita pun telah mafhum bahwa harta yang didapat anak laki-laki lebih banyak dari anak perempuan.
Terhadap ketentuan Allah yang nampak seolah tidak adil ini, yang pertama dilakukan adalah penerimaan. Nantinya hikmah akan datang, karena Allah tidak mungkin menzalimi hamba-Nya. Mustahil.
Mewarisi itu tidak semata soal hak, tapi ada kewajiban di baliknya. Tanggung jawab laki-laki lebih besar daripada perempuan. Termasuk seorang paman yang mewarisi harta dari saudaranya, ia tidak semata-mata mendapatkan harta tapi juga kewajiban membesarkan keponakan dari almarhum saudaranya.
Jadi jangan buru-buru protes pada aturan Allah. Kalau kita patuh, kemudian terjadi hal buruk. Biar Yang Membuat Aturan yang bertanggung jawab memperbaiki keadaan. Percaya sajalah.
Penerimaan itu, tidak segampang mengetik artikel ini. Masih banyak contoh lain ketentuan Allah yang menguji iman, yang memaksa logika bekerja keras untuk mendapatkan alasan yang tepat. Padahal logika kita terbatas, sementara ilmu Allah tidak demikian.
Jadi, terima saja dulu hukum yang menurutmu tak sesuai nurani atau kelaziman, biarkan hikmahnya menyusul kemudian. Karena menolak tak mengubah keadaan, malah bisa jatuh pada kekafiran.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H