Berdiri di sebelah tempat tidur, si bidan pengganti berdiskusi dengan temannya, ini ketuban bukan ya? Ketuban bukan? Sambil menggoyang telunjuk dan jari tengah yang baru saja digunakan mengecek rahim.
Mampus! Ini pengalamanku pertama kali melahirkan, di usia awal 26. Dan aku harus menyerahkan hidupku dan anak di tangan nakes yang tak mengenal ketuban dengan baik. Ini memang genting! Akhirnya kami menuju RS tempat biasa USG per tiga bulan.
Ketubanmu Habis, Sayang!
Di rumah sakit, dokter kandungan yang terkenal galak itu berseru, "Ya Allah, ini ketubanmu habis, Sayang! Jangan balik ke bidan, kamu harus operasi!"
Dengkulku lemas seketika. "Kata Bu X, masih bisa normal, Bu," kataku menyebut nama bidan langganan.
"Nanti saya yang telepon dia. Dak bisa, kamu harus operasi. Ketuban kamu gak cukup untuk melumas jalan keluar bayi. Kalau diinduksi, kamu bakal kesakitan, nanti bayinya stres, lalu fesesnya tertelan karena ketubannya habis. Kalau sudah begitu, dia bisa lahir biru. Paling lama tiga hari kamu bisa meluk dia, habis itu kalian gak ketemu lagi!"
Gini kan enak, jelas. Walau dokternya marah-marah, aku suka cara ia mengedukasi pasien. Ya sudah, pasrah. Akhirnya si kakak lahir lewat sectio caesarea (operasi sesar).
Dari sekian banyak hikmah dari drama persalinan itu, yang paling berkesan di kepala jahatku adalah: bidan tidak mau melayani yang bukan kliennya sejak awal. Yang kurasa tak seharusnya pasien diperlakukan demikian. Semoga aku cuma salah paham. Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H