Mohon tunggu...
Syarifah Lestari
Syarifah Lestari Mohon Tunggu... Freelancer - www.iluvtari.com

iluvtari.com

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Cerita Pahit untuk Para Bidan

5 Mei 2021   05:00 Diperbarui: 5 Mei 2021   07:25 439
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Kahar Erbol on Unsplash

Selamat Hari Bidan Internasional! Tapi aku memberi kado yang agak pahit untuk para bidan yang membaca artikel ini. Anggaplah ini semata prasangka buruk yang tidak mendasar, namun tetap harus menjadi pelajaran bagi kita semua.

Dua bulan setelah menikah di 2009, akhirnya kabar gembira menghampiri rumah tangga kami. Meski dilanjutkan dengan drama mabuk di trimester awal, tetap saja semua itu membahagiakan. Melihat kakak-kakak yang gampang melahirkan bahkan hanya jalan kaki ke rumah bidan tetangga, kupikir aku bakal punya nasib yang sama.

Selama kehamilan pertama itu, konsultasi kulakukan tiap bulan di bidan. Per tiga bulan USG ke rumah sakit. Rasanya semua sudah dipersiapkan dengan sangat matang. Kami memilih bidan terbaik, berdasarkan pengalaman kakak dan beberapa kenalan. Ditambah klinik yang juga lengkap dan nyaman.

Opsi kedua yang tadinya kupikir hanya untuk konsultasi, adalah dokter kandungan di sebuah rumah sakit Islam. Bidan dan dokter ini sama-sama senior dan saling mengenal. Jadi jika konsul dengan yang ini, selalu matching dengan info dari sana.

Baca juga: Kapan Istri Halal Meminta Cerai?

Pecah Ketuban Tanpa Bantuan Bidan

Sebagaimana umumnya orang yang tengah hamil tua, aku membiasakan berjalan kaki di pagi hari agar persalinan jadi lebih mudah. Pagi di bulan September, sesuatu seperti "menetas" di perutku. Lalu terasa ada yang rembes, tapi tidak ada kontraksi, dan rembesan itu tidak berwarna sama sekali.

Pagi itu juga aku dan suami mendatangi bidan langganan. Nahas, ketika kami memasuki lorong, sang bidan tepat dalam perjalanan keluar. Ia hendak ke Bandung mengurusi kuliah anaknya.

Apesnya lagi, tidak ada bidan yang jaga. Bidan pengganti baru akan datang malam hari. Jadi kami putuskan pulang, melanjutkan aktivitas seperti biasa. Aku masih mengerjakan pesanan cetak piagam dan suami tetap masuk kerja.

Sempat kukirim SMS ke seorang teman yang berprofesi sebagai perawat, tentang cairan yang tak henti keluar. Menurutnya, itu adalah ketuban. Ia menyarankan agar aku bersiap melahirkan dan kembali ke klinik.

Karena tidak merasakan sakit sedikit pun, dan di klinik pun tak ada bidan. Jadi saran itu kuabaikan. Apalagi sudah sejak pekan lalu terjadi bukaan satu tapi tak ada kontraksi sama sekali.

Menjelang siang, ia menanyakan keadaanku. Kukatakan bahwa aku masih di rumah. Temanku berkeras agar aku mencari bidan lagi jika bidan langganan tak ada. Okelah, temanku ini memang sangat perhatian sejak dulu. Ketika malariaku tak kunjung sembuh, ia juga yang sibuk mengurusi.

Baca juga: Kewajiban Orangtua yang Harus Diketahui Sebelum Menikah

Ditolak Para Bidan Senior

Setidaknya ada dua bidan di dekat rumahku. Namun keduanya tergolong masih muda, sementara bidan langganan kami terkenal seantero kota sebagai bidan senior yang jarang gagal mengantarkan bayi dari rahim ke dunia.

Maka dari berbagai referensi, kami mendatangi bidan-bidan lain yang sekiranya selevel dengan yang batal membantu persalinanku.

Bidan pertama, secara usia lebih senior dari bidan langganan. Di rumahnya juga tersedia klinik, tapi memang jarang penuh. Ketika konsultasi, ia tak melakukan "pengecekan dalam" sama sekali. Yang ditanyakannya adalah biasa konsul ke mana? Dan kujawab apa adanya.

Bidan tersebut kemudian memberiku pil penguat rahim. Itu cuma cairan biasa, katanya. Aku pun berpindah ke bidan lain, karena menurut temanku, aku seharusnya berbaring di klinik, bukan ke sana kemari.

Di bidan kedua, pertanyaan yang sama diberikan. Selama kehamilan, konsulnya ke siapa? Lalu tanpa melakukan cek rahim, memberi sesuatu yang katanya dapat menahan rahim agar bayi tak keburu brojol. Tunggu saja bidan langgananmu pulang, kira-kira begitu pesannya.

Hal yang sama terjadi ketika tiba di bidan ketiga. Suami sudah memeriksa kamar dan akan melakukan pembayaran, namun bidan mengatakan bahwa aku belum akan melahirkan. Air yang terus keluar itu bukan apa-apa. Pulang saja dulu, lalu aku diberi pil lagi.

Sore hari, aku masih di rumah. Tak terpikir ke rumah sakit, karena sejak awal tak pernah ada keluhan. Setiap konsul rutin maupun USG, semua baik-baik saja. Hanya temanku yang perawat itu yang sibuk SMS dan telepon.

"Ke rumah sakit! Bidan itu salah semua, itu ketuban. Nanti anakmu biru, Tar!"

Salahnya dia gak bilang kalau biru itu bisa mati. Kupikir biru waktu kecil, besarnya ya normal. Dasar calon ibu kurang ilmu!

Akhirnya aku dan suami kembali ke klinik langganan (padahal disuruh ke RS). Di sana bertemulah dengan bidan pengganti yang langsung memeriksaku. Sayangnya, dalam melakukan pemeriksaan, dia terlalu lugu.

Berdiri di sebelah tempat tidur, si bidan pengganti berdiskusi dengan temannya, ini ketuban bukan ya? Ketuban bukan? Sambil menggoyang telunjuk dan jari tengah yang baru saja digunakan mengecek rahim.

Mampus! Ini pengalamanku pertama kali melahirkan, di usia awal 26. Dan aku harus menyerahkan hidupku dan anak di tangan nakes yang tak mengenal ketuban dengan baik. Ini memang genting! Akhirnya kami menuju RS tempat biasa USG per tiga bulan.

Ketubanmu Habis, Sayang!

Di rumah sakit, dokter kandungan yang terkenal galak itu berseru, "Ya Allah, ini ketubanmu habis, Sayang! Jangan balik ke bidan, kamu harus operasi!"

Dengkulku lemas seketika. "Kata Bu X, masih bisa normal, Bu," kataku menyebut nama bidan langganan.

"Nanti saya yang telepon dia. Dak bisa, kamu harus operasi. Ketuban kamu gak cukup untuk melumas jalan keluar bayi. Kalau diinduksi, kamu bakal kesakitan, nanti bayinya stres, lalu fesesnya tertelan karena ketubannya habis. Kalau sudah begitu, dia bisa lahir biru. Paling lama tiga hari kamu bisa meluk dia, habis itu kalian gak ketemu lagi!"

Gini kan enak, jelas. Walau dokternya marah-marah, aku suka cara ia mengedukasi pasien. Ya sudah, pasrah. Akhirnya si kakak lahir lewat sectio caesarea (operasi sesar).

Dari sekian banyak hikmah dari drama persalinan itu, yang paling berkesan di kepala jahatku adalah: bidan tidak mau melayani yang bukan kliennya sejak awal. Yang kurasa tak seharusnya pasien diperlakukan demikian. Semoga aku cuma salah paham.   

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun