Kutambah tenaga, tapi temannku tak puas. "Sudahlah, aku bae yang bilas!"
"Aku nyuci?"
"Dak usah, pegilah ke depan sano!" aku diusir. Enak sih.
Saat kumpul keluarga besar, semua orang bekerja tapi semua pekerjaan sepertinya bukan milikku. Anehnya tak ada yang menegur, tak ada yang menginstruksikan supaya aku melakukan ini itu. Baik dari keluarga inti maupun para bibi.
Iya, enak. Tapi tidak begitu setelah berumah tangga. Tidak ada kakak yang mengurusi. Tak ada bapak yang menyiapkan ini itu. Semua pekerjaan rumah hanya mengandalkan insting perempuan ala kadarnya. Sekian tahun di awal pernikahan, aku lumayan stres menghadapi urusan rumah, terutama dapur.
Ke sininya sudah aman? Tidak juga. Pokoknya sulit dijelaskan panjang lebar. Tetangga, teman dan keluarga suami, tidak tau dan tak mungkin kuberi tau bahwa aku adalah bungsu berkakak banyak. Bukan apa-apa, aku hanya butuh pemakluman jika tak punya inisiatif mengambil pekerjaan saat berkumpul. Kalaupun teringat, khawatir salah.
Bukan tanpa alasan. Aku pernah ditertawai orang saat salah menjemur pakaian. Pernah bikin geleng-geleng teman kantor saat menyapu ruangan. Iya ketawa, tapi dalam hati aslinya sedih tau! Malu.
Dari sebanyak itu pengalaman tak menyenangkan, aku mengambil pelajaran. Anak bungsuku tak boleh bernasib sama dengan emaknya. Harus mandiri!
Btw setelah kubalik kalimat ini ke awal artikel, sepertinya sekarang yang "masalah" bukan adik, tapi kakaknya. Dia protektif seperti kakak-kakakku!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H